Berkenaan dengan perayaan Kamis Putih, hari di saat Yesus mendirikan Sakramen Ekaristi, semua imam berkumpul bersama uskupnya untuk mengenang peristiwa penting itu, di mana sekaligus Yesus mengadakan Sakramen Ekaristi dan Imamat demi kelangsungan Sakramen Ekaristi yang baru saja diciptakan-Nya. Kedua sakramen ini sangat erat berhubungan dan merupakan satu paket penting bagi para imam. Sukar sekali memisahkan kedua sakramen ini. Tak mungkin ada ekaristi tanpa imamat, dan tak mungkin juga imamat itu berkembang dan hidup tanpa ekaristi.
Untuk mengenang peristiwa 2000 tahun lalu, rekoleksi ini diadakan. Rekoleksi ini bertujuan untuk memperbaharui dedikasi atau penyerahan diri para imam kepada Yesus Kristus dan komitmen serta kesetiaan para imam kepada umat dan karya pastoral yang diserahkan oleh Imam Agung Ilahi dan Utama, sumber imamat para imam.
Perayaan Misa Krisma adalah Bagian dari On Going Reformation
Kita sudah sering berbicara soal on going formation bagi para imam. On going formation ini bisa dibuat secara pribadi atas inisiatif sendiri, misalnya dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan imamat dan karya pastoral. Istilah lainnya adalah outodidak. Bisa juga kegiatan ini dilaksanakan secara kolektif, baik atas inisiatif sendiri maupun dari dorongan keuskupan, misalnya rekoleksi, retret dan kursus.
Dalam pertemuan para uskup se-Asia yang diorganisir Office of Education and Student Chaplaincy dari FABC, dikatakan bahwa salah satu bentuk atau cara untuk on going formation adalah Misa Krisma. Kiranya ada benarnya juga pernyataan ini. Karena itulah pada kesempatan ini saya menghubungkan pertemuan ini dengan on going formation.
Tahbisan imamat bukanlah akhir dari usaha yang berkepanjangan melainkan merupakan satu awal dari pembentukan yang terus menerus dilaksanakan. Saat lengah dan berhenti membentuk diri sendiri, maka itu merupakan awal dari suatu kemunduran yang bisa berakibat fatal. Imamat membutuhkan suatu on going formation yang berarti juga pembaharuan yang terus menerus (on going reformation). On going reformation ini harus dilaksanakan karena dunia berkembang terus dan butuh selalu kemampuan membaca tanda-tanda zaman. Tidak bisa membaca tanda-tanda zaman berarti ketinggalan zaman dan apa yang diwartakan pasti sudah out of date. Terhadap tanda-tanda zaman ini kita haruslah menyesuaikan diri, meski tidak jarang kita harus berkorban.
Tantangan Situasi dan Kondisi Saat Ini
Untuk dapat menentukan peran apa yang bisa dimainkan di Keuskupan Pangkalpinang, kiranya perlu diperhatikan tantangan dari situasi dan kondisi lapangan yang harus dihadapi. Ada bebarapa tantangan yang senantiasa akan digeluti para imam di Keuskupan Pangkalpinang. Tantangan itu adalah sebagai berikut.
1. Pembangunan di bidang ekonomi. Indonesia pada umumnya masih berada dalam kondisi ekonomi yang sangat jelek. Tetapi nyatanya di Keuskupan Pangkalpinang terjadi pembangunan terus menerus. Namun sayangnya kemajuan ini tidak dinikmati secara merata. Masih banyak sekali orang miskin. Kota semakin maju dengan mall, supermarket, dsb, sedangkan desa semakin ketinggalan dan semakin sedikit menikmati hasil dari pembangunan. Akibatnya berbondong-bondong warga desa berangkat mengadu nasib di kota-kota untuk mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya. Kemelaratan berpindah dari desa ke kota. Di kota akhirnya terdapat banyak tempat kumuh yang membutuhkan perhatian kita semua. Lalu bagaimana sikap terhadap mereka ini? preferential option for the poor, harus diperhatikan dengan sungguh.
2. Perubahan nilai. Perubahan nilai terjadi karena beberapa pengaruh atau perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Tanpa disadari telah terjadi pergeseran nilai. Nilai-nilai agama dan kemanusiaan sekarang menjadi tidak berarti lagi. Pembangunan telah menciptakan peralihan yang cepat sekali dari masyarakat pertanian kepada masyarakat industri. Sejalan dengan ini terjadi juga pergeseran nilai dari yang bersifat sosial kepada yang bersifat individualistis, konsumtivistis, kurang rela melayani dan berkorban, tidak memikirkan orang lain. Gejala seperti ini sangat kentara di kota-kota besar seperti Batam, Pangkalpinang, Tanjungpinang, dsb.
Di samping itu perkembangan teknologi yang pesat telah memungkinkan masuknya informasi dari negara-negara maju, baik informasi positif maupun negatif. Kecanggihan alat-alat komunikasi sudah tak memungkinkan orang tua untuk mengontrol gelombang informasi yang makin terjangkau oleh anak-anak mereka. Gejala-gejala jelek ini secara tidak disadari telah masuk ke dalam kehidupan keluarga Katolik. Informasi-informasi yang bersifat negatif sangat mempengaruhi skala nilai yang dihayati. Penyalahgunaan posisi “mumpungisme” dan KKN sudah semakin sering terjadi dan membuat orang terpaksa menerima karena orang mau mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Banyak orang Katolik terseret ke dalam arus zaman ini. Dalam keadaan seperti ini, bagaimana para awam kita dapat melaksanakan tugas khusus mereka untuk merasuli dunia ini? Apakah mereka cukup terbantu untuk tetap bertahan melaksanakan tugas panggilan mereka? Ataukah mereka lebih sering merasa ditinggalkan untuk berjuang sendiri di tengah dunia dengan seperangkat nilai yang semakin membingungkan?
3. Perkembangan kelompok agama yang fundamentalistik. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, jumlah kelompok fundamentalis semakin bertambah di keuskupan ini. Gejala ini adalah reaksi alamiah terhadap perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan budaya yang terjadi sangat cepat. Pada saat terjadi kekaburan nilai-nilai ini, banyak orang khususnya kaum muda, cenderung berpaling kepada aliran yang menawarkan pegangan yang kokoh dan pasti. Di samping gejala umum ini, ada dua hal yang menjadi tantangan bagi Gereja Katolik Pangkalpinang, pertama kebangkitan Islam. Hal ini terlihat dari gencarnya promosi Islam dari bidang kecendekiawanan, ekonomi, pendidikan, bidang dakwa dan penyebaran buku-buku yang bernafaskan Islam. Konsekuensi logisnya adalah munculnya rasa bangga akan Islam dan sikap militansi menjadi tinggi. Mereka berani berdiskusi dan menyerang langsung agama lain, baik secara frontal maupun lewat internet. Dalam hal ini ada dua cara yang bisa kita pilih, yaitu menghindar atau bersikap terbuka. Menurut saya, sikap yang baik adalah terbuka dan merangkul mereka supaya tidak terjadi kecurigaan satu sama lain.
Kedua, sekte-sekte Protestan. Mereka sangat fanatik dan militansinya tinggi sekali. Para penginjil mereka berjalan ke mana-mana untuk menobatkan orang. Mereka tidak takut dengan siapapun dan berani bersikap frontal. Yang mereka wartakan begitu meyakinkan, apalagi dengan dukungan teks-teks Kitab Suci yang dipelintir. Orang Katolik yang ingin mendapatkan pegangan yang pasti mulai berpegang kepada kelompok-kelompok ini. Mulanya hanyalah untuk mencari variasi tetapi kemudian menyeberang. Umat awam mulai gelisah dengan gejala ini, terutama mereka yang mengalami langsung bahwa anak, kakak, adik, dll sudah berpindah Gereja. Banyak yang ingin mencegahnya tetapi karena pengetahuan agama yang kurang serta penguasaan Kitab Suci yang sangat rendah, mereka tidak dapat menandingi sikap berapi-api dari mereka yang baru saya beralih keyakinan. Cukup banyak awam yang berpendapat bahwa kepedulian para imam mengenai hal ini tidak sebesar yang mereka harapkan. Ada imam yang berani berkata kepada umat, “Satu pindah, sepuluh masuk.” Dan kata-kata ini sangat menghilangkan semangat mereka untuk mempertahankan iman mereka yang sejati.
4. Kondisi geografis dan demografis. Keuskupan Pangkalpinang terdiri dari banyak pulau dan penduduknya terdiri dari banyak kelompok etnis. Tugas para imam adalah mewartakan kabar gembira Yesus kepada semua mereka. Bagaimana bisa mewartakan kabar gembira kepada semua orang, padahal jumlah imamnya masih terbilang kurang. Untuk tugas ini, para awam pun mendapat perintah yang sama seperti para imam. Memang dalam kondisi begini, para awam kiranya dapat melaksanakan tugas ini. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah awam sudah siap untuk tugas pewartaan ini? Lalu awam macam mana yang dibutuhkan umat sekarang? Rasanya yang dibutuhkan sekarang adalah awam yang sungguh mengetahui imannya (kognitif), yang semakin yakin akan imannya (afektif) dan semakin dapat menerapkan imannya (konatif) ke dalam bahasa bidang profesinya. Untuk dapat memampukan para awam ini, perlu terus menerus mereka didampingi dalam merefleksikan dan mengembangkan iman sesuai dengan tuntutan lingkungan hidup mereka masing-masing, yaitu supaya mereka tahu yang mereka imani, agar yakin akan apa yang mereka imani dan agar mereka mampu menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Ciri Khas Seorang Imam Keuskupan Pangkalpinang
Bila dikaitkan dengan 4 hal di atas, dapatlah dilihat bahwa ada 5 karakteristik yang diperlukan oleh seorang imam di Keuskupan Pangkalpinang.
1. Peka terhadap perubahan. Ciri pertama adalah kepekaan terhadap perubahan-perubahan dan masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungan Gereja dan masyarakat serta mau terlibat di dalamnya. Kepekaan ini perlu demi diri sendiri dan demi umat yang harus dilayani. Dengan adanya kepekaan ini setiap imam dapat mengikuti setiap perubahan yang terjadi sebagai dampak dari pembangunan. Karena memiliki bahan yang up to date mengenai situasi konkret, seorang dapat membawakan warta Injil yang menyentuh kehidupan sehari-hari. Lalu bagi imam sendiri, apa yang dipelajari secara teoritis dahulu, sekarang akan menjadi praktis dan hidup. Imam dapat berteologi praktis dan kontekstual. Sehubungan dengan ini analisa sosial menjadi penting dan perlulah dipelajari.
2. Berani memberikan kesaksian hidup. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah berani memberikan kesaksian hidup melalui sikap menentang nilai-nilai negatif seperti individualisme, materialisme, konsumtivisme dan ketidakpedulian sosial yang semakin semarak di tanah air ini. Pada saat umat terombang-ambing oleh ketidakpastian oleh pergeseran nilai-nilai, keberadaan seorang gembala di antara umat adalah sesuatu yang menguatkan dan meneguhkan mereka untuk tetap mempertahankan nilai-nilai positif dan membangun. Dengan cara ini, Gereja dapat menjadi tanda keselamatan yang efektif. Dari pengamatan sepintas, karakteristik ini sudah mulai berkurang dihayati oleh para imam. Keluhan umat seperti, pastor tidak ada di tempat sehingga sulit ditemui, semakin sering menyerahkan tugas-tugas pastoral kepada awam, punya hobi mahal, bergaul bebas dengan muda-mudi, pilih-pilih kelompok yang dilayani, dll, menandakan bahwa nilai-nilai negatif yang hidup dalam masyarakat sudah mulai merembes masuk ke dalam kehidupan harian kita. Kalau nilai-nilai negatif ini merasuki awam, efeknya ada tetapi tidak akan sekuat jika kena pada para imam. Dengan ini akibatnya umat akan semakin bingung dan tidak tahu ke mana harus berlindung dan berteduh.
3. Perhatian terhadap reksa rohani umat. Para imam harus sungguh memperhatikan keselamatan jiwa-jiwa tanpa bersikap fanatik terhadap agama lain. Sebagai warga yang hidup dan berkembang di negara yang multi etnik dan multi agama ini, orang Indonesia dikatakan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada. Di samping itu ciri lain orang Indonesia adalah mementingkan hubungan antar pribadi yang baik. Cukup sering di lapangan orang sampai bisa mengorbankan yang prinsipil demi hubungan yang baik, terutama kalau orang lain itu dalam posisi sebagai pemegang kuasa. Padahal tugas para imam adalah mewartakan Kerajaan Allah dan nilai-nilainya kepada semua orang. Dalam kondisi seperti ini umat awam sangat membutuhkan pendampingan serta pemeliharaan rohani agar tidak terjebak dalam sikap toleran murahan yang mengorbankan prinsip iman.
4. Yakin akan panggilan awam. Melihat kondisi geografis dan demografis serta politik di negara ini, jelas bahwa untuk melaksanakan tugas perutusannya “menjadi sakramen keselamatan universal” secara optimal, Gereja harus menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ini hanya mungkin terlaksana jika para awam sadar dan siap untuk menjalankan tugas perutusan ini. Melihat kondisi awam sekarang bisalah dikatakan bahwa hanya sedikit saja awam yang sungguh siap. Sebagian besar umat masih berpikir bahwa menjadi orang Katolik yang baik cukuplah minimal saja dengan rajin ke Gereja, maksimal dengan sedikit aktif dalam paroki. Imam dipandang sebagai seorang yang tahu semua. Mereka belum sadar bahwa dirinya pun memiliki rasa tanggung jawab atas tugas perutusan yang diminta Kristus sesuai dengan karisma masing-masing. Dengan ini jelas bahwa perlu sekali para imam membina awamnya untuk menjadi lebih militan. Tetapi yang penting dan untuk terjadinya perubahan adalah bahwa para imam harus yakin akan panggilan para awam.
5. Bersatu dengan Imamat Kristus. Kalau memperhatikan apa yang sudah diungkapkan di atas, maka hampir tak mungkin dalam hitungan manusiawi para imam dapat melaksanakan dengan sempurna. Karena itu penting sekali bahwa para imam selalu berusaha untuk bersatu dengan Kristus, Imam Agungnya. Inilah maksud utama rekoleksi ini: membaharui persatuan dengan Yesus Kristus.
Kata Akhir
Demikianlah satu dua hal yang saya minta agar para imam memperhatikan bersama. Pasti apa yang dikemukakan ini belum lengkap karena saya melihatnya dari jauh. Karena itu sangat diharapkan bahwa para imam merefleksikannya lebih lanjut. Apa yang diberikan ini adalah bahan mentah yang mesti dimatangkan lagi. Tetapi ada hal yang mendasar, yang tak bisa dilupakan, yaitu bersatu dengan Kristus, sang Imam Agung. Yang lainnya merupakan tambahan, meski terbilang penting juga. Kalau yang dasar ini hilang, maka para imam tidak punya tempat berpijak lagi. Akibatnya adalah j a t u h.
by: mgr. Hila Moa Nurak, SVD
إرسال تعليق