Renungan Hari Raya Santo Yoseph

Kita sudah kenal sosok Santo Yoseph. Dia adalah tukang kayu. Sebagai tukang kayu, ia menggantungkan hidupnya pada orang lain yang memanfaatkan jasa pelayanannya. Itu terletak pada hasil kerjanya. Jika hasil kerjanya tidak bagus, mungkin karena dikerjakan dengan tidak bertanggung jawab, tentulah orang akan meninggalkannya. Sebaliknya jika hasil kerjanya bagus memenuhi harapan orang, tentulah orang akan setia padanya. Dan itu terletak pada kinerjanya. Dan itulah sosok santo Yoseph, suami Maria dan ayah dari Yesus.

Hari ini Gereja Katolik merayakan sosok tersebut. Satu teladan yang mau diberikan Santo Yoseph untuk kehidupan kita adalah sikap mendengarkan.

Dikatakan bahwa Santo Yoseph sudah sampai pada keputusan untuk meninggalkan Maria, yang diketahuinya sudah hamil, sebelum mereka resmi menjadi suami istri. Kita bisa tahu apa akibatnya jika mereka tidak jadi menikah, sementara Maria lagi hamil. Tentulah publik akan menuduh Maria telah berbuat zinah. Dan kita tahu apa hukuman bagi orang yang berbuat zinah: Mati dengan cara dirajam.

Tapi semua itu tidak terjadi karena akhirnya Yoseph kembali menerima Maria menjadi isterinya. Ini disebabkan karena Yoseph mau mendengarkan suara Tuhan dalam mimpinya. Dan di sinilah letak keutamaan Yoseph: mendengarkan, bukan hanya suara dirinya sendiri melainkan suara yang berasal dari luar dirinya.

Salah satu penyakit manusia dewasa ini adalah ketidak-mampuan untuk mendengarkan suara dari luar dirinya sendiri. Manusia jatuh dalam egoismenya. Hal ini didukung dengan kemajuan teknologi. Perhatikanlah di jalan-jalan. Sebagian besar orang berjalan lalu lalang dengan headset di telinganya. Orang sibuk dan tenggelam dalam dunianya sendiri tanpa peduli pada suara sesamanya. ketidak-mampuan mendengarkan juga nyata pada para pemimpin negeri ini. Mereka sepertinya sudah tak peduli lagi pada suara-suara rakyat kecil yang tertindas.

Oleh karena itu, pada hari raya Santo Yoseph ini, marilah kita tumbuhkan kesadaran dan kemampuan untuk mendengarkan suara Tuhan termasuk sesama kita. Dengan mau mendengarkan suara di luar diri kita, berarti kita berani menanggalkan egoisme kita.

Balai, 19 Maret 2012

by: adrian

1 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama