Orang Kudus Hari Ini


Santa Teresa Benedikta dari Salib



JITSCHEL

Edith Stein adalah yang bungsu dari total sebelas anak pasangan Yahudi-Ortodoks Siegfried Stein dan Auguste Courant Stein. Ia dilahirkan di Breslau pada tanggal 12 Oktober 1891, tepat saat keluarganya merayakan Yom Kippur, perayaan terpenting bangsa Yahudi, Hari Pendamaian Agung. Lebih dari segalanya, hal ini menjadikan si bungsu “Jitschel” amat berharga di mata ibunya. Dilahirkan pada hari istimewa pendamaian ini bagai suatu nubuat bagi Jitschel kecil, yang kelak menjadi seorang biarawati Karmelit.

Ayah Edith, seorang pengusaha kayu, meninggal dunia mendadak ketika Edith beranjak dua tahun. Ibunya, seorang yang amat saleh, pekerja keras, berkemauan kuat dan sungguh seorang perempuan yang mengagumkan, sekarang harus menghidupi dirinya sendiri, mengurus keluarga serta mengelola perusahaan kayu suaminya. Kesemuanya itu ditunaikannya dengan berhasil, namun demikian, ia tidak berhasil dalam memelihara iman yang hidup dalam diri anak-anaknya. Edith kehilangan imannya akan Tuhan. “Aku secara sadar memutuskan, atas kemauanku sendiri, untuk berhenti berdoa,” katanya.


 MAHASISWI

Sejak masih amat muda usianya, Edith menunjukkan antusiasme dan kecemerlangan dalam belajar. Pada tahun 1911, Edith lulus cum laude dari ujian akhir sekolah. Ia melanjutkan kuliah di Universitas Breslau untuk belajar bahasa Jerman dan sejarah, meski ini hanya sekedar pilihan “sampingan”. Minatnya yang sesungguhnya adalah dalam bidang filsafat dan peran perempuan. Ia menjadi anggota Serikat Prussian untuk Hak Perempuan. Ia berjuang keras demi memperbaiki nasib perempuan. “Semasa di sekolah dan semasa tahun-tahun pertamaku di universitas,” tulisnya kemudian, “aku seorang aktivis yang radikal. Kemudian minatku hilang dalam segala urusan itu. Sekarang aku mencari solusi-solusi pragmatis yang murni.”

Pada tahun 1913, Edith Stein pindah ke Universitas Göttingen dan belajar filsafat di bawah bimbingan Professor Edmund Husserl, seorang filsuf tersohor dan penggagas fenomenologi. Edith menjadi murid dan asisten pengajarnya, dan Husserl membimbingnya untuk meraih doktorat. Pada masa itu, siapapun yang tertarik pada filsafat akan terpikat oleh pandangan realitas baru Husserl, di mana dunia seperti yang kita rasakan tidak hanya ada di jalan Kantian, dalam persepsi subyektif kita. Murid-muridnya melihat filsafat Husserl sebagai kembali ke obyek, “back to things”. Fenomenologi Husserl tanpa disadari menghantar banyak muridnya ke iman Kristiani. Di Göttingen, Edith juga bertemu dengan filsuf Max Scheler, yang mengarahkan perhatiannya ke Katolik Roma.

Edith tidak melalaikan kuliah-kuliah “sampingan”nya dan lulus cum laude pada bulan Januari 1915, meski ia mengikutinya tanpa bimbingan dosen.

“Aku tak lagi memiliki hidupku sendiri,” tulisnya di awal Perang Dunia Pertama, setelah menamatkan kursus perawat dan pergi melayani di sebuah rumah sakit lapangan Austria. Ini adalah masa yang sulit baginya, di mana ia merawat mereka yang sakit di bangsal tifus dan melihat orang-orang muda mati. Walau demikian, Edith bekerja sepenuh hati dan mendapatkan medali penghargaan atas keberanian dan pelayanannya yang tanpa pamrih. Ketika rumah sakit dibubarkan pada tahun 1916, ia mengikuti Husserl sebagai asistennya ke Freiburg, di mana ia lulus dari doktoratnya dengan summa cum laude pada tahun 1917 pada usia 25 tahun dan menerima gelar Doktor Filsafat setelah menyelesaikan tesis “Problem Empati.”

Pada masa ini Edith pergi ke Katedral Frankfurt dan melihat seorang perempuan dengan keranjang belanja masuk ke dalam gereja untuk berlutut memanjatkan doa singkat. “Ini sesuatu yang sama sekali baru bagiku. Di sinagoga-sinagoga dan di gereja-gereja Protestan yang telah aku kunjungi, orang hanya pergi menghadiri kebaktian. Tetapi di sini, aku melihat seorang yang datang tepat dari keramaian pasar ke dalam gereja kosong ini, seolah ia hendak mengadakan suatu percakapan yang mesra. Ini sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan.” Di akhir disertasinya ia menulis, “Ada orang-orang yang percaya bahwa suatu perubahan yang sekonyong-konyong terjadi atas diri mereka dan bahwa ini adalah karena rahmat Allah.”

Edith Stein bersahabat baik dengan asisten Husserl di Göttingen, Adolf Reinach, dan isterinya. Ketika Reinach gugur pada bulan November 1917, Edith pergi ke Göttingen untuk mengunjungi jandanya. Suami isteri Reinach telah memeluk agama Protestan. Pada awalnya, Edith merasa canggung menemui janda muda ini, tetapi ia terkejut ketika sesungguhnya ia menjumpai seorang perempuan penuh iman. “Inilah perjumpaan pertamaku dengan Salib dan kuasa ilahi yang diberikan kepada mereka yang menanggungnya … itulah saat ketika ketidakpercayaanku hancur dan Kristus mulai menyinarkan terang-Nya atasku - Kristus dalam misteri Salib.”

Di kemudian hari Edith menulis, “Apapun yang tidak sesuai dengan rencanaku sendiri sungguh berada dalam rencana Allah. Aku bahkan memiliki keyakinan yang terlebih mendalam dan terlebih teguh lagi bahwa tak suatupun yang sekedar kebetulan belaka apabila dilihat dalam terang Tuhan, bahwa seluruh hidupku hingga ke hal-hal yang paling detil sekalipun telah dirancangkan bagiku dalam rencana Penyelenggaraan Ilahi dan memiliki makna yang sepenuhnya dan logis dalam pandangan Tuhan yang melihat semuanya. Jadi aku mulai bersukacita dalam terang kemuliaan di mana makna ini akan disingkapkan bagiku.”

Pada musim gugur 1918, Edith Stein mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai asisten pengajar Husserl. Ia ingin bekerja mandiri. Baru pada tahun 1930 Edith bertemu kembali dengan Husserl setelah pertobatannya, dan ia berbagi iman dengannya, sebab ia ingin Husserl menjadi seorang Kristiani juga. Lalu Edith menuliskan kata-kata nubuat ini, “Setiap saat aku merasakan ketakberdayaanku dan ketakmampuanku untuk mempengaruhi orang secara langsung, aku menjadi semakin sadar akan perlunya `holocaust'ku sendiri.”

Edith Stein mendamba gelar professor, suatu impian yang mustahil bagi seorang perempuan pada masa itu. Husserl menuliskan referensi berikut, “Andai karir akademis terbuka bagi kaum perempuan, maka aku akan merekomendasikannya dengan segenap hatiku dan sebagai pilihan pertamaku untuk gelar tersebut.” Edith akhirnya ditolak terutama karena ia seorang Yahudi.

Sekembalinya ke Breslau, Edith Stein mulai menulis artikel-artikel mengenai dasar filosofis dari psikologi. Tetapi, ia juga membaca Perjanjian Baru, Kierkegaard dan Latihan Rohani St Ignatius dari Loyola. Ia merasa bahwa orang tak dapat sekedar membaca sebuah buku macam itu, melainkan harus mengamalkannya.


 “INILAH KEBENARAN!”

Pada musim panas 1921, ia melewatkan beberapa minggu di Bergzabern (di Palatinate) di tempat Hedwig Conrad-Martius, seorang murid Husserl. Hedwig dan suaminya telah memeluk agama Protestan. Suatu sore, dari perpustakaan Hedwig, Edith mengambil secara acak sebuah buku yang ternyata adalah buku otobiografi St Theresia dari Avila, dan terus ia membaca buku tersebut sepanjang malam hingga fajar merekah. “Ketika aku selesai membaca, aku berkata kepada diriku sendiri: Inilah kebenaran!”

Keesokan harinya, Edith membeli buku Misa dan Katekismus yang di hari-hari selanjutnya menjadi tumpuan perhatiannya. Ketika dirasa ia sudah cukup paham, Edith untuk pertama kalinya masuk ke sebuah Gereja Katolik dan dengan mudah mengikuti jalannya Misa. Ia ingin dibaptis segera; dan ketika Pastor Breitling mengatakan bahwa agar dapat dibaptis orang perlu persiapan untuk mengenal ajaran dan tradisi-tradisi Gereja, ia menjawab, “Ujilah saya!” Ini dilakukan pastor dan Edith lulus dengan cemerlang.  

“Edith, pernahkah engkau memohon rahmat iman sebelum engkau bertobat?” Jawabnya, “Terus-menerus mencari kebenaran itulah satu-satunya doaku.” Dan kepada seorang biarawati Benediktin sahabatnya, Edith menulis, “Barangsiapa mencari kebenaran, entah sadar atau tidak, ia mencari Tuhan.”

Pada tanggal 1 Januari 1922, Teresa Edith Stein menerima Sakramen Baptis dan Sakramen Komuni Pertama di Gereja Santo Martinus, Bergzabern. Hari itu adalah hari Peringatan Penyunatan Yesus, ketika Yesus masuk ke dalam perjanjian Abraham. Teresa Edith Stein berdiri dekat bejana baptis dengan mengenakan gaun pengantin putih milik Hedwig Conrad-Martius. Dengan dispensasi khusus Bapa Uskup, Hedwig menjadi wali baptisnya. “Aku meninggalkan agama Yahudiku ketika aku masih seorang gadis berusia empatbelas tahun dan tidak lagi merasakan keyahudian hingga akhirnya aku kembali kepada Tuhan.” Sejak saat itu ia terus-menerus sadar sepenuhnya bahwa ia adalah milik Kristus bukan hanya secara rohani, melainkan juga karena hubungan darah. Pada tanggal 2 Februari, hari Peringatan Pentahiran Maria - suatu hari yang merujuk pada Perjanjian Lama - ia menerima Sakramen Penguatan oleh Uskup Speyer di kapel pribadi bapa uskup.

Edith langsung menuju Breslau: “Mama,” katanya dengan berlutut sembari menggenggam kedua tangan sang ibu, “Aku seorang Katolik.” Ibunya yang seorang Yahudi saleh itu bagai disambar petir. Kemudian perlahan airmata berlinang-linang membasahi wajahya yang keriput. Edith belum pernah melihat ibunya yang tegar itu menangis! Ini terlalu berat baginya. Dalam keluarganya, Katolik dianggap sekte yang hina. Edith siap menerima teguran yang paling tajam sekalipun, ia bahkan khawatir akan diusir dari rumah. Tetapi, airmata itu, ungkapan kesedihan hati yang terdalam. Kedua perempuan itu pun menangis. Hedwig Conrad Martius menulis: “Lihat, inilah dua orang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (bdk Yohanes 1:47).


 FRAULEIN DOCTOR

Segera setelah pertobatannya, kerinduan Edith Stein yang terdalam adalah menggabungkan diri dalam sebuah biara Karmelit. Tetapi, para pembimbing rohaninya, Vikaris Jenderal Schwind dari Speyer, dan P Erich Przywara SJ, untuk sementara menghalanginya. Mereka beranggapan bahwa rencana Tuhan adalah bahwa Edith Stein mengabdi Gereja lewat ilmunya. P Schwind mengatur agar Edith menjadi guru bahasa Jerman dan sejarah di sekolah Suster-suster Dominikan dan juga guru pembimbing mereka yang akan masuk universitas di Biara St Magdalena di Speyer.

“Segalanya untuk semua orang,” itulah semboyan Edith sejak ia menjadi Katolik, dan dalam hal itu ia menjadi teladan bagi semua orang. Satu dari banyak kesaksian yang ditulis oleh para mantan muridnya mengatakan, “Kami baru berumur tujuhbelas tahun dan Fraulein (= nona) Doctor mengajar kami bahasa Jerman. Sesungguhnya ia memberi kami segalanya. Kami masih sangat muda, namun daya tarik yang terpancar darinya tak akan pernah kami lupakan. Tiap-tiap hari kami melihat dia berlutut di bangku doanya, di depan koor, selama Perayaan Ekaristi. Maka kami mulai sedikit mengerti apa artinya iman dan sikap hidup yang diserasikan. Bagi kami, di usia yang penuh kritik, sikapnya saja sudah menjadi teladan. Kami tak pernah melihat dia lain daripada anggun, tenang dan pendiam. Seperti itu ia selalu masuk ke kelas kami, seperti itu juga ia seminggu sekali menemani kami waktu rekreasi….”

Pada saat yang sama, Abbas Agung Raphael Walzer dari Biara Beuron mendorongnya untuk menerima tawaran memberikan ceramah-ceramah. Sebanyak mungkin Edith menerima tawaran ini yang merupakan sarana baginya untuk mewartakan iman Katolik. Jadi Edith melewatkan hari-harinya dengan mengajar, memberikan kuliah, menulis dan menerjemahkan, memberikan ceramah-ceramah baik di Jerman maupun di luar negeri, dan segera saja ia terkenal sebagai seorang filsuf dan pengarang yang ternama, meski yang didambakannya adalah keheningan dan kontemplasi di Karmel. Pernah ia dicela karena dianggap terlalu kuat menggarisbawahi segi adikodrati, yang dijawabnya dengan tegas, “Jika aku tidak berbicara tentang hal ini, maka tak ada gunanya aku duduk di atas mimbar.”

Edith belajar bahwa adalah mungkin untuk “mengejar ilmu pengetahuan sebagai suatu pelayanan kepada Tuhan…. Hingga aku memahami hal ini maka aku mulai secara serius menekuni karya akademis kembali.” Edith bekerja keras luar biasa, menerjemahkan surat-surat dan buku harian Kardinal Newman dari masa sebelum ia menjadi Katolik, pula Quaestiones Disputatae de Veritate tulisan St Thomas Aquinas. Karya yang disebut belakangan ini merupakan suatu terjemahan yang sangat bebas, demi kepentingan dialog dengan filosofi modern. P Erich Przywara juga mendorongnya untuk menuliskan karya-karya filosofisnya sendiri. “Pada masa menjelang dan awal pertobatanku, aku pikir bahwa melewatkan suatu kehidupan religius berarti meninggalkan segala hal-hal duniawi dan mengarahkan akal budi pada hal-hal ilahi saja. Namun demikian, perlahan-lahan, aku belajar bahwa hal-hal lain juga diharapkan dari kita di dunia ini…. Aku bahkan percaya bahwa semakin seorang tenggelam dalam Tuhan, semakin ia harus `mengatasi dirinya sendiri' dalam hal ini, yakni, masuk ke dalam dunia dan melaksanakan hidup ilahi di dalamnya.”

Pada tahun 1931, Edith Stein meninggalkan sekolah biara di Speyer dan membaktikan diri untuk meraih gelar professor kembali, kali ini di Breslau dan Freiburg, meski ternyata usahanya sia-sia belaka. Pada waktu itulah ia menulis “Potensi dan Tindakan”, suatu studi mengenai konsep-konsep inti yang dikembangkan oleh St Thomas Aquinas. Di kemudian hari, di Biara Karmelit di Cologne, ia menulis ulang studi ini demi menghasikan karya utamanya dalam filosofis dan teologis, “Keterbatasan dan Keabadian” yang diselesaikannya pada tahun 1936. Tetapi, karena hukum anti Yahudi yang diberlakukan pada masa itu, karyanya tidak dapat dipublikasikan hingga tahun 1950.

Pada tahun 1932, ia menerima jabatan dosen di Institut Jerman untuk Ilmu Pedagogi di Universitas Munster, di mana ia mengembangkan antropologinya. Dengan gemilang Edith memadukan ilmu pengetahuan dan iman dalam karya dan pengajarannya, sebagai usaha menjadi “alat Tuhan” dalam segala yang ia ajarkan. “Jika seorang datang kepadaku, aku ingin menghantarnya kepada Dia.”

Serangan terhadap bangsa Yahudi semakin gencar dan pada tahun 1933, Adolf Hitler dan Partai Nazi berkuasa di Jerman. “Aku telah mendengar perlakuan buruk terhadap bangsa Yahudi sebelumnya. Tetapi sekarang mulai tampak bagiku bahwa Tuhan telah menekankan tangan-Nya dengan kuat ke atas umat-Nya, dan bahwa nasib bangsa ini juga akan menjadi nasibku.” Hukum Arian Nazi menjadikan mustahil bagi Edith Stein untuk terus mengajar, “Jika aku tak dapat terus di sini, maka tidak akan ada lagi kesempatan bagiku di Jerman,” tulisnya; “aku telah menjadi seorang asing di dunia.”

Sekarang P Walzer, Abbas Agung Beuron yang menjadi pembimbing rohaninya, tak lagi menghalanginya untuk masuk biara Karmelit. Sementara di Speyer, Edith telah mengucapkan kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Pada tahun 1933 ia bertemu dengan Priorin Biara Karmelit di Cologne. Ketika diberitahukan kepadanya bahwa ia tidak usah berharap dapat melanjutkan karya ilmiahnya di Karmel, Edith menjawab sepenuh hati, “Karya manusia tak ada gunanya, yang berarti hanyalah sengsara Kristus. Dan adalah kerinduanku untuk ikut ambil bagian di dalamnya.”

TERESA BENEDIKTA DARI SALIB

Edith Stein pergi ke Breslau terakhir kalinya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada ibu dan keluarganya. Hari terakhirnya di rumah adalah tepat hari ulang tahunnya, 12 Oktober, yang adalah juga hari terakhir Pesta Tabernakel. Edith pergi ke sinagoga bersama ibunya. Sungguh hari yang sulit bagi keduanya. “Mengapakah engkau harus mengenalnya [Kekristenan]?” tanya sang ibu, “aku tak hendak berbicara melawan-Nya. Mungkin Ia seorang yang amat baik. Tetapi mengapakah Ia menjadikan DiriNya Tuhan?” Sang ibu meneteskan airmata kepedihan di dada anaknya. Pasti dengan hati Yahudinya yang terluka dan berdarah ia bertanya kepada Allah Israel, mengapa anak ini, yang dicintainya secara istimewa karena dilahirkan pada Hari Raya Pendamaian, harus diutus ke padang gurun yang begitu sepi, begitu jauh dari kaum keluarganya, begitu jauh dari kaum bangsanya….

Keesokan harinya Edith berangkat dengan kereta api ke Cologne. “Aku tidak merasakan sukcita yang meluap. Apa yang baru saja aku alami terlalu mengerikan. Tetapi aku merasakan suatu damai yang luar biasa - dalam perlindungan aman kehendak Allah.” Sejak itu ia menulis kepada ibunya setiap minggu, meski tidak pernah menerima balasan. Tetapi Rosa, saudarinya, mengiriminya kabar dari Breslau.

Edith menggabungkan diri dengan Biara Karmelit di Cologne pada tanggal 14 Oktober 1933, dan menerima busana Karmel pada tanggal 15 April 1934. Misa Kudus dipersembahkan oleh Abbas Agung Beuron. Edith Stein sekarang dikenal sebagai Suster Teresia Benedicta a Cruce - Teresa, yang terberkati dari Salib. Pada tahun 1938 ia menulis, “Aku memahami salib sebagai takdir umat Allah, yang mulai tampak pada waktu itu (1933). Aku merasa bahwa mereka yang memahami Salib Kristus hendaknya membebankannya pada diri mereka sendiri atas nama semua orang. Tentu saja, aku tahu dengan lebih baik sekarang apa artinya dikawinkan dengan Tuhan dalam Tanda Salib. Namun demikian, orang tidak akan pernah dapat memahaminya, sebab itu suatu misteri.” Pada tanggal 21 April 1935, Sr Teresa Benedikta mengucapkan kaul sementara. Ketika itulah ia menulis, “Seorang Karmelit dapat membalas kasih Tuhan dengan melaksanakan tugas kewajiban sehari-hari dengan setia dan penuh bakti …. Inilah `jalan kecil', suatu rangkaian bunga yang disusun dari bunga-bunga kecil tak berharga yang setiap hari ditempatkan di hadapan Allah yang Mahakuasa - mungkin suatu kemartiran dalam diam, sepanjang hidup, yang tak diketahui orang dan yang pada saat bersamaan adalah sumber damai mendalam dan sukacita sejati dan sumber rahmat yang meluapi semuanya - kita tidak tahu kemana ia pergi, dan orang-orang yang menerimanya tidak tahu darimana ia berasal.”

Pada tanggal 14 September 1936, pembaharuan kaulnya bertepatan dengan wafat ibunya di Breslau. “Ibuku berpegang teguh pada imannya hingga saat terakhir. Sebab iman dan keyakinannya yang teguh kepada Tuhan-nya … adalah hal terakhir yang masih hidup di saat sakrat mautnya, aku yakin bahwa ia akan bertemu dengan seorang hakim yang sungguh berbelas kasihan dan bahwa ia sekarang adalah penolongku yang paling setia, sehingga aku dapat mencapai tujuanku pula.”

Ketika ia mengucapkan Kaul Kekal pada tanggal 21 April 1938, kata-kata St Yohanes dari Salib dituliskan pada gambar devosionalnya, “Sejak saat ini, satu-satunya panggilanku adalah mencinta.” Karya terakhirnya dipersembahkannya kepada St Yohanes dari Salib.


 “YANG TERBERKATI DARI SALIB”

Masuknya Edith Stein ke Ordo Karmelit bukanlah pelarian. “Mereka yang menggabungkan diri dengan Ordo Karmelit tidak hilang bagi orang-orang terdekat dan terkasih, melainkan dimenangkan bagi mereka, sebab adalah panggilan kami untuk menjadi perantara semua orang kepada Tuhan.” Secara istimewa, ia menjadi perantara bangsanya kepada Tuhan, “Aku terus-menerus memikirkan Ratu Ester yang direnggut dari bangsanya tepat karena Allah menghendakinya untuk memohon kepada raja atas nama bangsanya. Aku seorang Ester yang amat malang dan tanpa daya, tetapi Raja yang telah memilihku tak terhingga dalam kuasa dan belas kasihan-Nya. Ini sungguh merupakan penghiburan besar bagiku” (31 Oktober 1938).

Pada tanggal 9 November 1938, gerakan anti-Semit oleh Nazi menjadi semakin nyata di hadapan seluruh dunia. Sinagoga-sinagoga dibumihanguskan, harta milik orang-orang Yahudi dijarah dan dirampas; orang-orang Yahudi dicekam ketakutan yang ngeri. Priorin Biara Karmelit di Cologne melakukan yang terbaik demi memindahkan Sr Teresia Benedicta a Cruce ke luar negeri. Pada malam Tahun Baru 31 Desember 1938, Sr Teresia diselundupkan melewati perbatasan ke Belanda, ke Biara Karmelit di Echt di Provinsi Limburg. Di sinilah ia menuliskan wasiatnya tertanggal 9 Juni 1939, “Bahkan sekarang aku menerima kematian yang telah Tuhan persiapkan bagiku dalam penyerahan diri sepenuhnya dan dengan sukacita sebagai kehendak-Nya yang terkudus bagiku. Aku memohon kepada Tuhan untuk menerima hidupku dan matiku … sehingga Tuhan akan diterima oleh umat-Nya dan bahwa Kerajaan-Nya akan datang dalam kemuliaan, demi keselamatan Jerman dan perdamaian dunia.”

Ketika di biara Cologne, Sr Teresa Benedikta diberi ijin untuk memulai studi akademisnya kembali. Ia merasa memiliki suatu kesempatan dan tanggung jawab unik, sebagai seorang Katolik Yahudi, untuk menjembatani jurang pemisah antara pemahaman Kristiani dan Yahudi. Ia menulis buku “Kehidupan sebuah Keluarga Yahudi” (yaitu keluarganya sendiri) berusaha menunjukkan kesamaan pengalaman manusiawi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristiani dalam kehidupan mereka sehari-hari. “Aku hanya ingin menceritakan apa yang aku alami sebagai bagian dari bangsa Yahudi,” katanya, menunjukkan bahwa “kami yang dibesarkan dalam agama Yahudi mempunyai kewajiban untuk menjadi saksi … kepada generasi muda yang dibesarkan dalam kebencian rasial dari sejak awal kanak-kanak.”

Di Echt, Sr Teresa Benedikta dengan cepat menyelesaikan studinya “Guru Mistik Gereja dan Bapa Karmelit, Yohanes dari Salib, dalam peringatan 400 tahun kelahirannya, 1542-1942.” Pada tahun 1941, ia menulis kepada seorang sahabat, yang adalah juga anggota ordonya, “Orang hanya dapat memperoleh scientia crucis (pengetahuan tentang salib) jika orang telah secara mendalam mengalami salib. Aku yakin akan hal ini sejak dari saat pertama dan seterusnya dan mengatakannya dengan segenap hatiku: `Ave, Crux, Spes unica!” (Aku menyambut Engkau, wahai Salib, satu-satunya pengharapan kami).” Studinya mengenai St. Yohanes dari Salib diberinya judul: “Kreuzeswissenschaft” (Ilmu tentang Salib); karyanya yang tak pernah terselesaikan.

Salibnya sendiri sudah di ambang pintu, sebab Nazi telah menguasai Belanda yang netral. Dan ketika para Uskup Katolik Roma Belanda menentang pembuangan dan pembantaian orang-orang Yahudi, Nazi menangkap semua orang Katolik keturunan Yahudi, termasuk para imam dan para religius, di Belanda sebagai tindakan balas dendam.

Sr Teresa Benedikta ditangkap oleh Gestapo pada tanggal 2 Agustus 1942 ketika ia sedang di kapel bersama para biarawati lainnya. Ia diwajibkan melapor dalam waktu lima menit, bersama dengan Rosa - saudarinya yang telah menjadi Katolik dan seorang Karmelit Ordo Ketiga - yang melayani di Biara Echt. Dengan menggandeng tangan Rosa, Sr Teresa mengatakan, “Mari, kita pergi untuk bangsa kita.”


 “AVE, CRUX, SPES UNICA”

Bersama dengan banyak orang Yahudi lainnya, kedua perempuan ini dibawa ke suatu kamp perhentian di Amersfoort dan kemudian dari Amersfoort ke Westerbork. Kepada Priorin Karmel di Cologne, diceritakan orang sebagai berikut, “Di antara para tahanan yang datang pada tanggal 4 Agustus, Sr [Teresa] Benedikta mencolok karena ketenangannya yang dalam dan kegembiraannya. Penderitaan dan ketegangan dalam kamp itu tak terlukiskan. Sr Benedikta berkeliling di antara ibu-ibu, menghibur, menolong, menenangkan, bagai seorang malaikat. Banyak ibu-ibu yang nyaris gila, sudah berhari-hari tidak menghiraukan anak-anak mereka. Mereka bingung dan putus asa. Sr Benedikta memperhatikan anak-anak yang malang itu, memandikan dan menyisir rambut mereka… ia memberi contoh pengabdian yang tak kenal lelah, yang begitu baik, yang mengherankan semua orang.”

Ny Bromberg, salah seorang yang ada di kamp konsentrasi bersama Sr Benedikta dan kemudian dibebaskan, memberikan kesaksian, “Perbedaan besar antara Edith dan suster-suster lainnya adalah karena ia pendiam. Kesan pribadiku ialah bahwa ia sangat sedih, tidak takut, tetapi tak dapat kukatakan yang lain daripada bahwa ia memberi kesan harus memikul beban berat penderitaan, yang bahkan bila ia tersenyum, orang merasa terlebih sedih lagi. Ia hampir tidak berbicara, hanya seringkali ia memandangi kakaknya Rosa dengan amat sangat sedih. Pada saat aku menuliskan ini, muncul pikiran bahwa ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya dan orang lain…. Sekali lagi, ini adalah kesanku: bahwa ia memikirkan penderitaan yang akan datang, bukan penderitaannya sendiri, karena ia terlalu tenang dan hampir kukatakan terlalu tenteram, melainkan penderitaan yang akan menimpa orang lain. Seluruh penampilannya sampai sekarang memberi aku kesan, bila aku membayangkannya lagi, duduk di muka barak: suatu patung pieta tanpa Kristus.”

Prof Jan Nota, yang begitu dekat dengan Sr Teresa Benedikta, di kemudian hari menulis, “Ia adalah saksi kehadiran Tuhan dalam suatu dunia di mana Tuhan absen.” Sr Teresa Benedikta sendiri mengatakan, “Aku tidak pernah tahu bahwa orang dapat seperti ini, pun aku tidak tahu bahwa saudara dan saudariku akan harus menderita seperti ini. … Aku berdoa bagi mereka setiap saat. Adakah Tuhan mendengarkan doa-doaku? Tentu Ia akan mendengarkan mereka dalam sengsara mereka.”

Pada tanggal 7 Agustus, pagi-pagi benar, 987 orang Yahudi dideportasi ke Auschwitz, Polandia dengan kereta api. Dalam perjalanan, kira-kira pukul 12 siang, mereka tiba di Schifferstadt. Sr Teresa Benedikta meminta petugas kereta api untuk menyampaikan salam kepada keluarga P Schwind - pembimbing rohaninya yang telah wafat - yang tinggal di kota ini, “Saya diperjalanan ke arah timur! Ke arah timur! Ad orientem! Menuju kepada terang!” Inilah kata-katanya yang terakhir.

Pada tanggal 9 Agustus Suster Teresia Benedicta a Cruce bersama saudarinya dan banyak kaum bangsanya dibantai dengan gas beracun dalam kamar gas Nazi dan kemudian jenazah mereka dibakar secara massal di krematorium di sana.


 SANTA PELINDUNG EROPA

Ketika Edith Stein dibeatifikasi di Cologne pada tanggal 1 Mei 1987, Gereja menghormati “seorang puteri Israel,” seperti dinyatakan Paus Yohanes Paulus II, yang, sebagai seorang Katolik pada masa penganiayaan Nazi, tetap setia kepada Tuhan Yesus Kristus yang tersalib, dan sebagai seorang Yahudi, kepada bangsanya dalam kasih setia.”

Pada tanggal 11 Oktober 1998, Edith Stein atau Sr Teresa Benedikta dari Salib dimaklumkan sebagai Santa oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma. Setahun kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1999, paus yang sama memaklumkan St Edith Stein, bersama dengan St Katarina dari Sienna dan St Brigitta dari Swedia, sebagai pelindung Eropa. Sebelumnya, Eropa hanya memiliki tiga santo pelindung: St BenediktusSt Sirilus dan St Methodius. Bapa Suci mengatakan bahwa ia memaklumkan ini “guna menekankan peran penting yang telah dimainkan dan yang dimiliki kaum perempuan dalam gereja dan dalam sejarah sipil Eropa.”

Sumber: 1.“Teresa Benedict of the Cross Edith Stein”; www.vatican.va; 2.“Dr Edith Stein - Sr Teresa Benedikta dari Salib OCD : Kurban untuk Bangsanya”; Sr M. Emerentia OP; Biara Karmel Lembang; 3. berbagai sumber, “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama