MEMAKNAI KESEJAHTERAAN
Tanggal 12 Juli lalu, di beberapa kota di Indonesia, diramaikan oleh aksi demo para buruh. Ribuan bahkan puluhan ribu demonstran, yang mayoritasnya adalah kaum buruh, turun ke jalan-jalan menyuarakan aspirasi mereka. Meskipun ada beberapa tuntutan, namun bisa dikatakan semuanya mengacu pada satu kata ini, yaitu S E J A H T E R A.
Selain buruh, demo menuntut kesejahteraan pernah dilakukan para guru dan juga para kepala desa. Bagi mereka gaji yang mereka terima saat itu tidak mencukupi untuk memenuhi kesejahteraan hidupnya dan keluarganya. Mereka minta kenaikan gaji agar mereka bisa mencapai kesejahteraan hidup.
Menjadi pertanyaan kita, apa sih sejahtera itu? Apakah sejahtera itu identik dengan kelimpahan harta kekayaan? Apakah dengan kenaikan gaji maka otomatis orang merasa sejahtera?
Bisa saja kita tertipu. Ada orang yang selama ini dianggap kaya raya, harta berlimpah, namun sebenarnya mempunyai utang yang tak berhingga. Sebenarnya, sejahtera mempunyai makna lebih dibandingkan hanya sekedar disebut sebagai orang kaya. Belum tentu semua orang kaya itu sejahtera. Sejahtera semestinya memiliki unsur kebahagiaan. Sementara kekayaan belum tentu dibarengi dengan kebahagiaan.
Kesejahteraan sebenarnya adalah ketika seseorang – secara relatif – baik itu primer, sekunder maupun tersier berdasarkan nilai yang ada pada diri seseorang. Mengapa demikian? Misalnya, Joni merasa dirinya sudah cukup kaya dan sejahtera ketika bisa menikmati makan tiga kali sehari, punya rumah sederhana dan bisa menyekolahkan anak-anaknya. Joni merasa bahwa harta yang dimilikinya sudah mencukupi dan hidup bahagia.
Akan tetapi lain dengan Jono. Ia sudah memiliki rumah mewah, mobil bagus, deposito di berbagai bank dan kekayaan lainnya. Namun Jono melihat teman-temannya jauh lebih kaya daripada dirinya. Oleh karena itu, Jono merasa belum sejahtera. Dari situasi tersebut jelaslah bahwa besarnya harta tidak berbanding lurus dengan makna kesejahteraan secara relatif.
Dengan kata lain, sejahtera sebenarnya dimulai dari konsep berpikir atau persepsi terhadap kesejahteraan itu sendiri. Jadi, tidak mengherankan kalau Joni merasa sejahtera, sementara Jono masih merasa “sengsara”. Makanya, disebut sebagai nilai relatif.
Ada beberapa hal yang sebaiknya dicerna ulang seperti berikut ini.
Konsep Sejahtera
Hal penting dalam memahami kesejahteraan adalah memutuskan arti kesejahteraan itu sendiri berdasarkan nilai pada diri masing-masing. Bukan karena tetangga kita memiliki rumah mewah atau mobil lebih banyak maka kita anggap tetangga kita lebih sejahtera. Bukan itu maknanya, melainkan model kesejahteraan seperti apa yang kita inginkan. Jadi, tidak perlu melihat orang lain.
Berikutnya, memastikan untuk apa semua uang dan harta yang sudah dan akan dimiliki nantinya. Jadi, ada tujuan dari harta itu. Bukan sekedar dikumpulkan sebanyak-banyaknya. Ini sekaligus menjelaskan bahwa kekayaan dalam makna kesejahteraan adalah ketika kita bisa menikmati dan mensyukuri kekayaan tersebut. Bukan kekayaan yang berlimpah karena utang berlimpah, misalnya. Atau dalam bentuk lain, harta dan kekayaan membuat kita menjadi berperilaku buruk, menjadi serakah atau menjadi kikir.
Jadi, kesimpulannya, definisikan dulu arti kesejahteraan secara seluas-luasnya. Termasuk, hubungan antara jumlah harta dan uang yang dipunyai atau diinginkan dengan kebahagiaan. Baru setelah itu bicara mengenai bagaimana mencapainya.
Mendapatkan Kesejahteraan
Untuk menjadi sejahtera sebagaimana ukuran yang telah diputuskan oleh masing-masing individu, kita terlebih dahulu harus mengetahui seberapa jauh jarak kita saat ini dengan tingkat kesejahteraan yang hendak dicapai. Sebagai contoh, dari sisi aset, saat ini kita menyewa rumah dan kita beranggapan, untuk sejahtera, setidaknya kita mesti mempunyai rumah sendiri. Maka, pertanyaan berikutnya adalah, rumah seperti apa yang mau kita miliki.
Lalu berapa lama dari sekarang rumah tersebut bisa dimiliki. Kemudian dari mana sumber pembiayaannya. Artinya, ada rencana yang jelas, terukur, baik dari sisi waktu maupun sumber dananya. Jadi, boleh-boleh saja kita mendambakan apa saja, tetapi tidak boleh menafikan rasionalitas. Jangan sampai kita terjebak pada kesejahteraan artifisial; mempunyai aset bersumber dari utang dan kemudian aset tersebut hilang kembali karena kita gagal melunasinya.
Kesejahteraan termasuk unsur kebahagiaan bukan sekedar untuk dicapai, sesuai ukuran masing-masing. Ketika kesejahteraan itu sudah tercapai, langkah berikutnya adalah bagaimana mempertahankan kesejahteraan tersebut.
Tetap Sejahtera
Ketika kekayaan meningkat, sebagian kalangan juga mengubah gaya hidup, pola pergaulan dan tingkat konsumsi. Perubahan itu, hakikatnya menjadikan biaya hidup semakin mahal. Oleh sebab itu, salah satu kunci paling mendasar untuk mempertahankan kesejahteraan adalah melalui kontrol terhadap perubahan gaya hidup. Dan itu dapat dijaga dengan kembali mengajukan pertanyaan, “Apa definisi kesejahteraan bagi saya?”
Secara konseptual, menjaga kesejahteraan bisa dilakukan dengan cara melakukan check up secara reguler terhadap kondisi keuangan dan kekayaan kita. Jika delta pengeluaran tiba-tiba menjadi lebih besar daripada delta pemasukan, sebaiknya kita harus waspada. Itu merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang mulai keliru dalam pengelolaan kesejahteraan kita. Dan untuk mencegah permasalahan lebih lanjut, mulailah membelanjakan uang untuk hal-hal yang berkualitas. Bukan membeli barang-barang berharga murah tetapi daya gunanya rendah dan frekuensi pembeliannya bisa tinggi. Lebih jauh lagi, berhentilah melakukan pengeluaran – khususnya terhadap sesuatu yang bersifat keinginan – ketika pemasukan tidak mencukupi. Dengan lain perkataan, ketika kesejahteraan telah bersama kita, jangan menggunakan aset yang telah dipunyai untuk membiayai pengeluaran.
by: adrian
Sumber: Elvyn G Masassya, “Menafsirkan Kesejahteraan” dalam KOMPAS, 8 Juli 2012, hlm 18
Posting Komentar