Farrel Merah
Dalam kesempatan liburan di kampung (Maumere), bulan Agustus lalu, saya menyempatkan diri mengunjungi saudari saya di Larantuka. Sudah 8 tahun kami tak berjumpa.Mereka juga selalu mengharapkan kehadiran saya di sana. Apalagi di sana juga ada adik sepupu saya. Jadi, dengan ke Larantuka, saya bisa mengunjungi dua saudara saya.
Persoalannya, saya tidak tahu alamat rumah mereka. Orang di rumah (kampung) juga tidak tahu. Mereka hanya tahu rumahnya; alamatnya tidak. Dan bisanya mereka ke sana memakai bus Farrel. Kebetulan sopirnya orang satu kampung. Namanya Soni. Jika bermalam di Larantuka, ia sering nginap di rumah adik saya. Memang saya dan soni belum saling kenal, tapi dia tahu siapa saya.
"Nong ke sana pakai bus Farrel saja." Nasehat paman saya. "Nanti saya telpon sopirnya supaya jemput nong di Pasar Geliting."
Singkat cerita, pagi sekitar jam 06.00 saya sudah turun dengan ojek ke Geliting. Waktu tempuh kurang lebih 35 menit. Paman saya bilang bahwa Bus Farrel meninggalkan Maumere sekitar jam 07.00. Kepada saya, paman mengingatkan bahwa bus yang akan saya tumpangi namanya Farrel.
"Kan susah membaca nama busnya dari depan. Nama bus kan selalu ditulis di samping." Sela aku waktu makan malam.
"Busnya warna merah." Jelas pamanku.
Maka, setelah sampai di Geliting, saya langsung menuju tempat yang sudah disepakati: depan Toko Putra Jaya, Geliting. Saya selalu menyebut berkali-kali "Farrel Merah" hanya untuk mengingatkan diri. Dalam hati saya berpikir, pastilah saya akan dapat tempat duduk istimewa, makan gratis di rumah makan di Boru dan mungkin tidak bayar ongkos.
Lama saya menunggu bus. Jam sudah menunjukkan waktu 08.15. Sejak jam 07.00 sudah ada beberapa bus jurusan Larantuka yang lewat. Ada yang merah, tapi bukan Farrel.
Sekitar jam 08.50, dari kejauhan saya melihat bus jurusan Larantuka. Warnanya merah. Saya coba mendekat jalan. Bus itu berjalan melambat. Sopir melihat saya dan saya juga melihat dia dan langsung melihat ke samping bus. "FARREL".
"Nah, inilah dia!" Seru aku dalam hati.
Saya langsung menahan dan naik. Tidak ada sambutan khusus. Tidak ada tempat istimewa. Saya diam saja. Yang jelas saya sudah naik bus yang tepat. Farrel Merah.
Namun, ketika memasuki Boganatar, hati saya sedikit ciut. Seorang penumpang di belakang saya tiba-tiba memanggil sopir dengan sebutan "Willy." Mungkinkah saya naik bus yang salah? Ataukah Willy itu sopir cadangan?
Waktu di Boru dulu saya akhirnya sadar bahwa saya salah naik bus. Ternyata bus Farrel itu ada dua, dan dua-duanya warna merah. Akhirnya, terpaksalah saya "menggelandang" di Terminal Larantuka sampai bus Farrel yang dimaksud datang. Karena sopirnya, Sonni, yang akan mengantar saya ke rumah adik saya.
by: adrian
Posting Komentar