Beata Alexandrina Maria da Costa
MASA KECIL
Alexandrina Maria da Costa dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1904 di Balasar, Oporto , Portugal , sekitar 200 mil dari Fatima . Tak lama setelah kelahirannya, ibunya menjadi janda. Meski hidup dalam kemiskinan, ibu dan kakak perempuannya, Deolinda, membesarkan Alexandrina dengan prinsip-prinsip dasar hidup kristiani yang baik. Alexandrina seorang anak yang periang dan santun, membuatnya disukai semua orang. Ia juga memiliki kekuatan fisik dan stamina yang luar biasa yang memampukannya bekerja di ladang berjam-jam lamanya, dan dengan demikian dalam usia amat muda telah ikut menopang hidup keluarga.
Ketika usianya duabelas tahun, Alexandrina sakit parah karena suatu infeksi dan nyaris direnggut maut; akibat dari sakit ini tinggal padanya sementara ia tumbuh dewasa, dan menjadi “tanda pertama” dari apa yang Tuhan kehendaki darinya: menderita sebagai suatu “jiwa yang berkurban.”
JIWA YANG SIAP BERKURBAN
Pada hari Sabtu Suci 1918, ketika Alexandrina berusia empatbelas tahun, sementara ia dan Deolinda serta seorang gadis magang sibuk menjahit, tiga lelaki memasuki rumah mereka secara paksa dengan niat melakukan kejahatan seksual terhadap mereka. Demi memelihara kemurnian dan menghindari dosa, Alexandrina melompat dari sebuah jendela, dan jatuh sekitar empat meter dari permukaan tanah. Sakitnya tak terperi, namun dengan kertak gigi dan dengan menghapus darah yang membasahi wajahnya, Alexandrina merenggut sepotong kayu yang kuat dan dengan terhuyung-huyung kembali demi membela kawan-kawannya. Beberapa pukulan yang diayunkannya mengenai sasaran. Para lelaki itu melarikan diri karena terkena hantaman dan terlebih lagi karena terkejut atas serangan balik yang tak terduga. Kedua gadis yang lain pun selamatlah.
Alexandrina mengalami luka-luka parah yang serius. Para dokter mendiagnosa kondisinya sebagai “tak dapat disembuhkan”. Mereka memprediksi kelumpuhan yang dideritanya hanya akan semakin bertambah buruk keadaannya.
Hingga usia sembilanbelas tahun, Alexandrina masih dapat “menyeret dirinya” ke gereja di mana, dengan tubuh terbungkuk, ia akan tinggal dalam doa. Akan tetapi, keadaannya semakin memburuk. Sejak tanggal 14 April 1924 hingga akhir hayatnya - yakni selama 31 tahun - ia sama sekali lumpuh dan harus tinggal terus-menerus di atas pembaringan.
Di awal tahun-tahun penderitaan ini, Alexandrina memohon dengan sangat rahmat mukjizat kesembuhan. Ia berjanji untuk menjadi seorang misionaris jika ia disembuhkan. Ia berjanji untuk membagi-bagikan segala yang ia miliki, memotong rambutnya dan mengenakan pakaian kabung sepanjang hidupnya, asal saja ia disembuhkan. Akan tetapi, bukannya membaik, kondisinya malahan semakin parah hingga gerakan sekecil apapun akan membuatnya kesakitan. Beberapa kali sudah ia berada di ambang maut dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit diterimakan kepadanya.
Perlahan-lahan, Tuhan membantu Alexandrina melihat bahwa penderitaan adalah panggilannya dan bahwa ia mempunyai suatu panggilan istimewa untuk menjadi “kurban” bagi Tuhan. Semakin Alexandrina “memahami” bahwa ini adalah misinya, semakin ia bersuka-hati memeluknya. Ia mulai merindukan suatu hidup dalam persatuan yang akrab mesra dengan Yesus. Persatuan ini, demikian sebagaimana dimengertinya, hanya dapat terwujud melalui menanggung sakit dan kelemahan demi kasih kepada-Nya. Ia mempersembahkan diri kepada Tuhan sebagai jiwa yang berkurban demi pertobatan orang-orang berdosa.
Alexandrina senantiasa memiliki devosi mendalam kepada Santa Perawan Maria. Malam-malam, kala demam menyerang, terbaring tanpa dapat memejamkan mata dan dengan napas tersengal-sengal, ia berusaha untuk berdoa; kepalanya membasahi bantal, jari-jemarinya mencengkeram rosario seolah mengupayakan kelegaan dari untaian manik-manik itu. “O, Yesus,” demikian ia akan mendesah, mengulang doa yang diajarkan Santa Perawan Maria dari Fatima , “Ini demi kasih kepada-Mu, demi pertobatan orang-orang berdosa, dan demi silih atas hujat yang dilakukan melawan Hati Maria yang Tak Bernoda.”
Mengenai Bunda Maria dan permohonannya semula untuk kesembuhan, Alexandrina mengatakan, “Bunda Maria telah memberiku rahmat yang bahkan terlebih besar: pertama kelepasan; kemudian ketaatan penuh pada kehendak Allah; dan akhirnya, haus akan penderitaan.”
Setiap hari sepanjang bulan Mei, ia mempersembahkan diri kepada Bunda Maria: “Bunda Yesus dan Bundaku, sudi dengarkanlah doaku. Aku mempersembahkan tubuhku dan segenap hatiku kepadamu. Murnikanlah aku, ya Bunda Tersuci, limpahilah aku dengan kasihmu yang suci. Tempatkanlah aku dekat tabernakel Yesus agar aku dapat menjadi lampu Tuhan sepanjang dunia ada. Berkatilah aku, kuduskanlah aku, o Bunda terkasih dari Surga!”
Kerapkali sepanjang hari-hari yang panjang dan sepi, ia mengarahkan budi dan hati ke tabernakel dalam gereja setempat, sembari mengulang doanya:
“Yesus-ku yang baik, Engkau adalah seorang tawanan dan aku juga seorang tawanan. Kita berdua adalah tawanan. Engkau seorang tawanan demi keselamatan dan kebahagiaanku, dan aku seorang tawanan dalam tangan-tangan-Mu. Engkau adalah Raja dan Tuan atas segalanya, dan aku adalah seekor cacing tanah. Aku telah mengabaikan-Mu, dengan memikirkan hanya yang dari dunia ini, yang adalah kebinasaan jiwa-jiwa. Tetapi sekarang, dalam tobat dengan segenap hatiku, aku menghendaki hanya apa yang Engkau kehendaki, dan menderita dalam penyerahan diri. O Yesus-ku, aku menyembah-Mu di manapun Engkau tinggal dalam Sakramen Mahakudus. Apabila Engkau dihinakan, aku disamping-Mu. Aku mengasihi Engkau demi mereka yang tidak mengasihi Engkau. Aku melakukan silih demi mereka yang menghinakan Engkau. Sudi datanglah ke dalam hatiku.”
MENDAKI KE KALVARI
Sementara bulan-bulan terentang menjadi tahun-tahun panjang yang menyakitkan, Alexandrina mulai merindukan Kurban Kudus Misa dirayakan dalam kamarnya yang sederhana. Ia sadar bahwa keinginannya itu terlalu muluk dan karenanya ia hanya memendamnya dalam hati. Tetapi, pada musim gugur 1933, mendengar seorang imam kudus, P Mariano Pinho SJ, akan datang untuk berkotbah di daerahnya, Alexandrina mengungkapkan kerinduannya yang tak terbendung kepada Deolinda yang berjanji untuk mengupayakan yang terbaik. Demikianlah pada tanggal 20 November 1933, P Pinho, SJ merayakan Misa pertama dalam kamar Alexandrina, yang sekarang menjadi tujuan peziarah dari segenap penjuru dunia.
Tak lama sesudah misa pertama dirayakan dalam kamarnya, Alexandrina dikarunia suatu penampakan Kristus.
“Suatu malam Yesus menampakkan diri kepadaku, seolah Ia baru saja diturunkan dari salib. Aku dapat melihat luka-luka menganga di kedua tangan, kaki dan lambung-Nya. Darah memancar dari luka-luka-Nya, dan dari dada darah memancar begitu deras hingga, sesudah membasahi kain yang melilit pinggang-Nya, darah membanjiri lantai. Yesus menghampiri sisi pembaringanku. Dengan kasih yang besar aku dapat mencium luka-luka di kedua tangan-Nya dan aku rindu mencium juga luka-luka di kedua kaki-Nya. Tetapi karena kelumpuhanku, aku tak dapat melakukannya. Meski aku tiada berkata apapun mengenai kerinduan ini kepada Yesus , Ia tahu apa yang ada dalam benakku dan dengan kedua tangan-Nya Ia menaikkan satu kaki dan lalu kaki yang lain dan menawarkan kepadaku untuk menciumnya…. Mabuk kepayang, aku merenungkan luka di lambung-Nya dan darah yang memancar dari-Nya hingga, dikuasai kasih, aku melemparkan diri ke dalam pelukan-Nya dan berseru, `O Yesus-ku, betapa dahsyat Engkau telah menderita bagiku!' Aku tinggal dalam pelukan-Nya untuk beberapa waktu lamanya dan Ia pada akhirnya lenyap dari pandangan.”
Pada tanggal 6 September 1934, Alexandrina mengalami suatu ekstasi yang luar biasa, di mana suara Kristus yang penuh belas kasih mengundangnya untuk mendekati Hati-Nya yang Mahakudus dan ikut ambil bagian dalam dahsyatnya api derita penebusan-Nya:
“Serahkanlah tanganmu kepada-Ku, sebab Aku hendak memakukannya bersama tangan-Ku. Serahkanlah kakimu, sebab Aku hendak memakukannya bersama kaki-Ku. Serahkanlah kepalamu, sebab Aku hendak memahkotainya dengan duri sebagaimana mereka lakukan terhadap-Ku. Serahkanlah hatimu, sebab Aku hendak menembusinya dengan tombak sebagaimana mereka menembusi Hati-Ku. Persembahkanlah tubuhmu kepada-Ku; persembahkanlah keseluruhan dirimu kepada-Ku… Bantulah Aku dalam penebusan umat manusia.”
“Pada malam hari, dari Sabtu hingga Minggu, aku tak tahu apa yang melintasi kepalaku. Aku tidur dan terbangun: aku seperti mau mati. Kejadian aneh ini berlangsung sebentar, tetapi kerap berulang. Aku pikir ini disebabkan oleh tulang belakangku. Aku harap Tuhan kita mendengarkanku, tetapi kehendak-Nya terjadilah... Seringkali aku memohon, “O, Yesus-ku, apakah yang Engkau kehendaki dariku?” Dan setiap kali aku mendengar hanya jawaban ini, “Derita, kasih dan silih” (28 Maret 1933).
“Terpujilah Tuhan yang telah memanggilku ke dalam dunia ini untuk menderita dan menanggung begitu banyak pencobaan! Kepada semua ini, aku persatukan banyak dosa-dosa yang menyedihkanku lebih dari segala yang lain. Aku memohon setiap hari untuk boleh menderita dan aku merasakan penghiburan rohani yang besar apabila aku terlebih lagi menderita, sebab dengan demikian aku mempunyai lebih banyak untuk dipersembahkan kepada Yesus-ku. Meski begitu, ada hal-hal yang sungguh teramat berat, tetapi Kehendak Tuhan, bukan kehendakku, terjadilah (30 Desember 1933).
Aku telah mengulang kepada Yesus: kirimkanlah penderitaan sebanyak yang Engkau kehendaki, asal saja aku dapat melakukan silih bagi penghinaan-penghinaan yang Engkau terima (15 Agustus 1934).
TAHUN-TAHUN DERITA
Penderitaan Alexandrina demi silih atas dosa sekarang harus menghadapi tantangan kuasa kegelapan. Sejak tahun 1934, ia mulai diserang oleh penglihatan-penglihatan yang menyeramkan dan seruan-seruan hujat yang mengejek bahwa Tuhan telah meninggalkannya, bahwa bunuh diri merupakan satu-satunya alternatif bagi hidup penuh penderitaan yang sia-sia. Sadar bahwa roh setanlah yang berkarya untuk memberontak, Alexandrina mempercayakan diri sepenuhnya ke dalam tangan Pater Pinho SJ yang menjadi pembimbing rohaninya dari tahun 1934 hingga 1941.
Pada tanggal 14 September 1934, Alexandrina menulis sebagai berikut:
“Adakah Pater ingin tahu apa itu `wajah hitam dari neraka' yang belakangan ini mengacaukan kepalaku? Beginilah: 'Apapun yang kutulis kepada Pater akan menjadi penyebab kebinasaanku… dan jika aku tidak mentaatinya… yang terburuk akan terjadi.' Ini membuatku menangis.”
Iblis menyerang,
“Ekskomunikasi, seribu kali ekskomunikasi jika engkau terus menulis kepada pembimbing rohanimu! Engkau sudah terbakar di neraka. Bertobatlah, orang sial! Bertobatlah, orang celaka! Adalah kasih kepadamu yang membuatku berbicara seperti ini. Aku datang sekarang dari Kristus-mu yang mengatakan padaku untuk mengambilmu, sebab Ia tak lagi dapat menyelamatkanmu. Ia sedih… dengan tulisan-tulisanmu.”
Iblis menambahkan bahwa adalah sia-sia ia berdoa, bahwa tak ada keselamatan baginya, bahwa tak ada seorangpun yang dapat menolongnya, bahwa ia akan dikutuk.
Selanjutnya Alexandrina mengenang: “Suatu malam terang bulan sesudah berdoa, aku merasa ingin tidur, ketika sekonyong-konyong masuk ke dalam kamarku suatu kegelapan besar… Aku melihat suatu bayangan hitam yang meloncat ke arahku dan berkata, `Aku datang atas nama Kristus-mu untuk membawamu ke neraka.' Aku mencium salib dan suara itu melanjutkan, `Engkau mencium benda jahat itu!' Ia kemudian memerintahkanku untuk melakukan hal-hal yang tak dapat aku katakan… Hanya setelah aku mengambil air suci, aku ditinggalkan dalam damai.”
“Sesekali aku melihat suatu kilasan cahaya. Dua kali aku melihat dua mata yang amat besar, membelalak lebar, menatap padaku, namun segera lenyap. Pada hari Minggu, aku mendengar suara yang amat lemah lembut mengatakan, `Puteriku, aku datang untuk mengatakan kepadamu agar jangan menulis apapun mengenai apa yang engkau lihat: penglihatanmu menipumu. Tidakkah engkau merasa betapa lemahnya engkau? Engkau menyedihkanku dengan ini; ini Yesus-mu yang berbicara kepadamu, bukan setan.' Aku menaruh curiga dan mulai mencium salib. Suara itu menjadi murka dan menggelegar, `Jika engkau terus menulis, aku akan menghancurkan tubuhmu. Apakah engkau pikir aku tak dapat melakukannya?”
Dalam surat kepada P Pinho SJ tertanggal 14 Februari 1935, Alexandrina menulis, “Iblis menghendakiku menyingkirkan benda-benda suci yang aku kenakan dan salib yang aku genggam dalam tanganku. Ia mengatakan bahwa ada rahasia-rahasia yang hendak ia percayakan kepadaku, tetapi pertama-tama aku harus melepaskan benda-benda yang dibencinya itu.”
Untuk jangka waktu yang lama, sementara Alexandrina menanggung penderitaan ini, Tuhan tampaknya meninggalkannya seorang diri, sebab ia tak lagi mendengar suara penghiburan-Nya. Iblis memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan ini dengan menanamkan dalam jiwanya benih-benih kebimbangan yang hebat mengenai nilai penderitaannya, dengan berupaya meyakinkannya bahwa ia akan binasa, dan lagi dengan berusaha membujuknya untuk bunuh diri.
“Aku mengambil air suci, seperti yang biasa aku lakukan dalam peristiwa-peristiwa serupa,” demikian katanya kepada P Pinho. “Aku berdoa dengan tekun dan sungguh, `O Yesus-ku, janganlah, janganlah pernah aku ingin menghinakan-Mu. Aku telah berbulat hati untuk tidak mengatakan atau melakukan sesuatu yang dapat menghinakan-Mu.'”
Berurai air mata Alexandrina memohon kepada Tuhan untuk ikut campur tangan dan mengakhiri serangan-serangan iblis. Dalam beberapa ekstasi Yesus mengatakan kepadanya:
“Puteri-Ku, penderitaan adalah kunci ke surga. Aku menanggung begitu banyak penderitaan demi membuka surga bagi segenap umat manusia, tetapi bagi sebagian besar dari mereka hal itu sia-sia belaka. Mereka mengatakan, `Aku hendak menikmati hidup; aku datang ke dalam dunia hanya demi kenikmatan.' Mereka mengatakan, `Neraka tidak ada.' Aku telah wafat bagi mereka dan mereka katakan mereka tidak minta Aku melakukannya. Mereka membentuk bidaah-bidaah melawan Aku. Demi menyelamatkan mereka, Aku memilih jiwa-jiwa tertentu dan menempatkan salib di atas bahu mereka. Berbahagialah jiwa yang memahami nilai penderitaan! Salib-Ku terasa manis apabila dipanggul demi kasih kepada-Ku… Aku telah memilihmu sejak dari kandungan ibumu. Aku melindungimu dalam kesulitan-kesulitanmu yang terbesar. Adalah Aku yang memilihnya untukmu, agar Aku dapat mempunyai suatu kurban yang mempersembahkan kepada-Ku banyak silih. Bersandarlah pada hati-Ku yang Mahakudus dan temukanlah di sana kekuatan untuk menderita semuanya.”
Setelah sepuluh tahun teror yang tak kunjung henti, pada akhirnya iblis meninggalkan Alexandrina dan bertindak hanya dalam imaginasinya di kejauhan, seolah iblis dibelenggu dan menggelepar-gelepar dalam murka yang sia-sia, tiada dapat atau dilarang menyentuh Alexandrina lagi.
Yesus mempercayakan kepada Alexandrina penyebarluasan pesan Santa Perawan Maria dari Fatima . Setelah menyambut Komuni suatu pagi, Yesus berkata kepadanya,
“Dengan kasih yang engkau miliki bagi BundaKu Tersuci, katakanlah kepada pembimbing rohanimu bahwa sebagaimana Aku meminta Margareta Maria [St Margareta Maria Alacoque] devosi kepada Hati Ilahi-Ku, demikianlah aku memintamu untuk mendorong penyerahan dunia kepada Hati Tak Bernoda BundaKu.”
Sejak hari itu, Alexandrina mempersembahkan diri sebagai kurban demi tercapainya tujuan ini. Pada bulan September 1936, P Pinho menyampaikan hal ini kepada Kardinal Pacelli [kelak Paus Pius XII] dan Paus Pius XII mempersembahkan dunia kepada Hati Maria yang Tak Bernoda pada tanggal 31 Oktober 1942 dengan mempergunakan gelar-gelar seperti diwahyukan kepada Alexandrina: “Ratu Alam Semesta, Ratu Rosario Tersuci, Pengungsian Umat Manusia, Pemenang dalam Semua Pertempuran Allah.”
Tuhan meminta dengan sangat silih ekaristik:
“Temanilah Aku dalam Sakramen Mahakudus. Aku tinggal dalam tabernakel siang dan malam, menanti untuk melimpahkan kasih-Ku dan rahmat-Ku kepada semua yang mengunjungi-Ku. Tetapi, begitu sedikit yang datang. Aku begitu diabaikan, begitu kesepian, begitu dihinakan… Berdoalah bagi para pendosa yang malang yang, karena menjadi budak nafsu mereka, tidak ingat bahwa mereka mempunyai jiwa yang perlu diselamatkan dan bahwa suatu keabadian menanti mereka sebentar lagi… Banyak manusia tidak percaya akan kehadiran-Ku, mereka tidak percaya bahwa Aku tinggal dalam tabernakel. Mereka menghujat-Ku. Yang lain percaya, namun tidak mengasihi-Ku dan tidak mengunjungi-Ku; mereka hidup seolah Aku tidak di sana . Aku telah memilihmu untuk menemani-Ku dalam tempat-tempat pengungsian yang kecil itu. Kebanyakan dari tempat-tempat itu begitu terbengkalai, tetapi betapa kekayaan yang terkandung di dalamnya! ... Seperti Maria Magdalena, engkau telah memilih bagian yang terbaik. Engkau telah memilih untuk mengasihi-Ku dalam tabernakel di mana engkau dapat mengkontemplasikan-Ku, bukan dengan mata jasmani, melainkan dengan mata hati. Aku sungguh hadir disana seperti di surga - Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an. Engkau telah memilih yang termulia.”
EKSTASI SENGSARA YESUS
Penampakan Tuhan Yesus yang dianugerahkan kepada Alexandrina pada tanggal 6 September 1934 menandai dimulainya serangkaian wahyu di mana Yesus mengajarinya langkah demi langkah dalam dukacita hidup dan sengsara-Nya.
Demikianlah sejak dari tanggal 3 Oktober 1938 hingga 27 Maret 1942 [yang waktu itu adalah Peringatan SP Maria Berdukacita], Alexandrina mengalami tiga jam “sengsara” Yesus setiap hari Jumat. Ia menerima rahmat mistik untuk mengalami dalam tubuh dan jiwanya sengsara Kristus di jam-jam terakhir hidup-Nya. Sepanjang tiga jam ini, kelumpuhannya “lenyap”, dan ia akan menghadirkan kembali Jalan Salib; tingkah laku dan gerakan-gerakan tubuhnya disertai dengan penderitaan jasmani dan rohani yang luar biasa. Ia juga diserang hebat oleh iblis dan didera dengan pencobaan-pencobaan melawan iman dan dilukai secara fisik pada tubuhnya.
Dalam periode ini Alexandrina masuk ke dalam tahap kebimbangan batin.
“Apabila Yesus meningkatkan rahmat-Nya dan berkat-Nya padaku, pada saat yang sama kebimbanganku berlipatganda dan ketakutan akan menipu diriku sendiri dan menipu mereka yang ada bersamaku, terus-menerus mendera… Bagiku kelihatannya semuanya dusta dan hasil rekaanku belaka. Tuhanku, betapa menyiksa! Kegelapan menutupiku dan tak ada seorang pun yang menunjukkan jalan kepadaku. Betapa keras upaya pembimbing rohaniku untuk menanamkan kepercayaan dalam diriku, tak ada suatupun yang dapat menghiburku.”
Kendati kebimbangan batinnya, wahyu-wahyu terus berlanjut.
“Setiap saat para pendosa yang tak terhitung banyaknya memancing murka Allah atas dunia - murka yang teramat dahsyat. Celakalah mereka jika mereka tidak bertobat! Dunia yang malang , apalah yang akan terjadi dengannya! Bertobatlah, bertobatlah seluruh dunia! Bertobatlah! Wahai dunia, kenalilah kejahatan-kejahatanmu atau kalian akan binasa! Celakalah dunia! Keadilan Ilahi tak dapat menanggungnya lagi.”
“Pada pagi hari tanggal 2 Oktober 1938, Tuhan kita mengatakan bahwa aku akan mengalami segala sengsara-Nya dari Getsemani hingga Kalvari, tetapi bahwa aku tidak akan tiba di Consummatum Est. Ia menegaskan bahwa aku akan memulainya esok hari dan bahwa aku akan mengalami sengsara-Nya setiap hari Jumat segera sesudah tengah hari, hingga pukul tiga siang. Aku tidak mengatakan tidak pada Tuhan. Aku memberitahukan semuanya kepada pembimbing rohaniku dan menanti dengan harap-harap cemas esok hari sebab tak seorang pun di antara kami yang dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Sepanjang malam tanggal 2-3 Oktober, penderitaan jiwaku amat hebat, tetapi penderitaan badanku bahkan terlebih lagi. Aku mulai kehilangan darah dan merasakan kesakitan yang ngeri. Dan dalam sengsara inilah aku masuk ke dalam penyalibanku yang pertama. Betapa kengerian yang aku rasakan. Oh, betapa dukacitaku yang tak terperi!”
Tak lama sesudah tengah hari pada tanggal 3 Oktober 1938, Tuhan kita mengundang Alexandrina untuk mengalami sengsara-Nya.
“Lihatlah puteri-Ku, Kalvari sudah siap. Adakah engkau menerimanya?”
Alexandrina dengan gagah berani menjawab, “Ya Yesus, demi Engkau dan demi menyelamatkan para pendosa, aku bersedia melakukan segalanya.”
Pater Pasquale [P Umberto Pasquale SDB, seorang imam Salesian, yang menjadi pembimbing rohani Alexandrina sejak tahun 1944] mencatat:
“Segeralah ia mengalami sengsara, didera, dimahkotai duri, dijebloskan ke dalam penjara dan berjumpa dengan Bunda Maria yang ia pandang dengan tatapan dukacita begitu rupa seperti yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Jatuh terhimpit salib begitu hidup hingga tak meninggalkan ruang sedikitpun bagi keraguan… Dalam pandanganku sengsaranya tampak paling dahsyat ketika ia menyerahkan tangan-tangannya yang kecil putih dan kemudian kaki-kakinya untuk dipakukan. Lalu salib dipancangkan di atas bumi… Betapa suatu pemandangan yang menyayat hati! Betapa dukacita menguasai jiwa kami! Selanjutnya sakrat maut di atas salib dengan erangan-erangannya yang sedih memilukan hati. Dan tatapannya! Tak dapat diungkapkan dengan kata-kata! Ia mendesah berulangkali dan pada akhirnya, menutup kedua matanya yang cekung dalam lekuk mata keunguan, menundukkan kepala dan wafat. Betapa amat serupa dengan wafat Yesus!”
Ketika ekstasi berakhir pada pukul tiga sore, Alexandrina mengedangkan kedua tangannya seolah dalam ucapan syukur, lalu sekonyong-konyong terengah-engah ketakutan, ia berteriak,
“Tidak, Yesus! Tidak, Yesus! Salibkanlah aku! Ampunilah! Ampunilah! Ampunilah! Mereka mempunyai hak yang sama denganku, sebab Engkau telah wafat di salib untuk mereka dan untukku juga. Yesus, aku menghendaki tak ada suatu jiwa pun menuju neraka, baik dari parokiku maupun dari seluruh dunia. Aku mengasihi Engkau demi mereka. Sudi lupakanlah para pendosa, Yesus. Ingatlah aku melalui penyalibanku. Neraka adalah jahanam yang paling mengerikan, Yesus.” [Dialog ini secara mengejutkan amat serupa dengan apa yang terjadi antara Tuhan kita dan mistikus St Gemma Galgani di akhir abad kesembilan belas.]
P Pinho ingat suatu kali ia menanyakan kepada Alexandrina seberapa beratnyakah salib Yesus. Alexandrina, masih dalam ekstasi menjawab bahwa bebannya seberat seluruh dunia. Alexandrina juga menjelaskan kepada P Pasquale bahwa bukan sekedar mahkota duri sekeliling kepala, melainkan suatu helm dari anyaman duri yang menutupi seluruh kepala Yesus. Ia menambahkan bahwa wajah Tuhan kita amat mirip dengan gambar pada Kain Kafan Turin.
Luka-luka memar akibat jatuh dan biru-biru lebam yang kelihatan mata di sekujur tubuh Alexandrina sepanjang ekstasi sengsara Yesus, sekonyong-konyong lenyap dengan berakhirnya ekstasi. Dalam kerendahan hati Alexandrina memohon kepada Tuhan untuk tidak memberinya stigmata ataupun tanda-tanda kelihatan lainnya dari sengsara mistiknya.
HIDUP HANYA DARI EKARISTI
Pada tanggal 27 Maret 1942, dimulailah suatu fase baru dalam hidup Alexandrina yang berlangsung selama tigabelas tahun tujuh bulan, yakni hingga wafatnya. Ia tidak menerima makanan apapun selain Ekaristi Kudus, hingga berat tubuhnya menyusut hingga 33 kg.
Dalam suatu ekstasi Yesus mengatakan kepadanya,
“Engkau tidak akan menyantap makanan lagi di dunia. Yang akan menjadi makananmu adalah Daging-Ku; yang akan menjadi darahmu adalah Darah Ilahi-Ku, yang akan menjadi hidupmu adalah Hidup-Ku. Engkau menerimanya dari-Ku bilamana Aku mempersatukan Hati-Ku dengan hatimu. Janganlah takut, puteri-Ku. Engkau tidak akan disalibkan lagi seperti di masa lalu.... Dan sekarang suatu pencobaan baru menantimu, yang akan menjadi yang paling menyakitkan dari semua. Tetapi, pada akhirnya Aku akan membawamu ke Surga dan Bunda Tersuci akan menemanimu.”
“Engkau akan sangat jarang menerima penghiburan…. Aku menghendaki, agar sementara di hatimu ada sarat penderitaan, di bibirmu ada senyuman.”
Sebab itulah, mereka yang mengunjungi atau berhubungan dengan Alexandrina senantiasa menjumpai seorang perempuan yang, meski nyata-nyata menderita secara jasmani, senantiasa penuh sukacita dan tersenyum, menularkan suatu damai mendalam kepada semua yang di sekelilingnya. Sedikit saja orang yang mengerti apa yang amat dideritanya dan betapa dalam kesedihan batinnya.
KONFIRMASI MEDIS
Otoritas Gereja memerintahkan Alexandrina untuk menjalani serangkaian test yang ketat di suatu rumah sakit selama 40 hari. Segala macam test medis yang dilakukan menegaskan puasa mutlaknya. Kalimat kunci dari laporan resmi yang ditandatangani Dr Gomez de Araujo - spesialis dalam bidang penyakit syaraf dan radang sendi dari Royal Academy of Medicine, Madrid - memaklumkan: “Adalah mutlak pasti bahwa selama 40 hari terbaring di rumah sakit, perempuan yang sakit ini tidak makan ataupun minum… dan kami yakin fenomena demikian bisa telah terjadi sepanjang bulan-bulan belakangan ini, kemungkinan sekitar 13 bulan terakhir… yang membuat kami terheran-heran.”
SERAFIM CINTA
Sejak September 1944 P Pasquale memerintahkan Deolinda untuk membuat catatan atas kata-kata dan pengalaman-pengalaman mistik yang dialami Alexandrina. Dalam otobiografinya, Alexandrina menuliskan pengalaman akan penderitaan luar biasa di neraka dan api penyucian. Uraiannya yang panjang mengenai neraka menggemakan kembali penglihatan neraka yang mengerikan sebagaimana dilihat ketiga anak dari Fatima pada tanggal 13 Juli 1917 dan dicatat oleh Sr Lucia. Mengenai api penyucian, Alexandrina menulis:
“Pada Hari Raya Kristus Raja 1943, aku merasa tubuhku telah mati dan keberadaanku di bumi sama sekali telah berakhir. Kata-kata tak dapat mengungkapkan dukacita yang aku rasakan pada saat itu. Betapa duka ini, Tuhan-ku, betapa pedihnya duka ini! Aku merasa nyala-nyala api menembusiku. Kelihatannya aku merasakan panasnya yang dahsyat sebab dahaga hebat yang aku derita. Tetapi aku keliru. Nyala-nyala api itu terus ada. Api-api itu bukanlah api dari dunia ini. Kecemerlangannya mempesona. Api-api itu menembusiku selama berjam-jam lamanya, menyiksa-aniaya diriku. Api-api itu tersulut tinggi… menyebabkanku merasakan kesakitan yang tak terkatakan, namun kendati demikian, aku tedorong untuk menceburkan diri ke dalamnya guna memurnikan diriku oleh nyalanya.”
P Pasquale menanyakan apakah Alexandrina bersedia membaktikan sebagian dari penderitaannya dan doa-doanya yang tak kunjung henti bagi keselamatan kaum muda. Alexandrina segera menyanggupi dan pada tanggal 26 Februari 1945, ia menjadi seorang Salesian. Kepada segenap komunitas Salesian, Alexandrina menulis:
“Di atas segalanya, jadilah yang terkecil. Taat buta. Jangan pernah berdosa. Menderita dalam diam. Kasihilah Yesus. Kasih, hanya kasih! dari Alexandrina Maria (Balasar 1 April 1945).
Tuhan bersabda kepadanya:
“Andai engkau tahu betapa Aku mengasihimu, engkau akan mati karena sukacita. Aku telah mendirikan rumah-Ku dalam jiwamu. Aku tingggal dalam engkau seolah hanya engkau seorang yang ada di dunia ini dan hanya ada engkau yang Aku berkati. Engkau adalah tebernakel yang dibangun oleh tangan-tangan ilahi. Aku menghendaki engkau dalam pelukan-Ku dengan kepasrahan seorang bayi dalam buaian ibunya. Berikanlah hatimu untuk ditempatkan dalam hati-Ku agar engkau tak mengasihi yang lain selain dari Aku dan perkara-perkara-Ku. Dalam tubuhmu adalah Kristus; Kristus dalam tatapanmu dan dalam senyumanmu. Engkau adalah lembah dan Aku air yang mengalirinya, yang membasuh dan memurnikan. Engkau kaya dalam Aku. Karena itulah tatapanmu menarik. Karena itulah senyummu memiliki pesona surgawi. Aku menghendakimu mengkhotbahkan devosi kepada tabernakel. Aku menghendakimu menyalakan dalam jiwa-jiwa devosi kepada Tawanan Kasih ini. Aku tidak tinggal di dunia ini hanya untuk mengasihi mereka yang mengasihi Aku, melainkan semua orang. Bahkan mereka yang sibuk dalam pekerjaan dapat menghibur-Ku.”
Pada tanggal 1 Oktober 1954, Yesus mengatakan:
“Aku menghendakimu menyalakan dunia dengan kasih kepada Hati Ilahi-Ku, yang sekarang padam dalam hati manusia. Nyalakanlah! Nyalakanlah! Aku menghendaki memberikan Kasih-Ku kepada segenap manusia. Aku menghendaki dikasihi segenap manusia. Tetapi, mereka tak hendak menerimanya dan tak mengasihi Aku. Melalaui engkau, Aku menghendaki Kasih ini dinyalakan dalam segenap umat manusia, sebagaimana melalui engkau dunia dipersembahkan kepada Hati yang Tak Bernoda BundaKu Tersuci.”
AMANAT AKHIR
Sepanjang awal tahun 1955, kondisi Alexandrina kembali memasuki masa kritis. Pagi-pagi benar pada tanggal 13 Oktober 1955, pada peringatan 38 tahun penampakan terakhir Santa Perawan Maria di Fatima dan mukjizat matahari, Alexandrina berseru dengan semangat kasih yang berkobar,
“O Tuhan-ku, aku mengasihi-Mu! Aku milikmu sepenuhnya! O, betapa aku rindu untuk terbang kepada-Mu! Adakah itu hari ini? O, aku akan begitu bahagia… begitu bahagia!”
Serangkaian penglihatan akan Hati Maria yang tak Bernoda dengan lembut meyakinkannya, “Aku akan segera membawamu.” Melalui suatu cahaya putih ia mendengar suara Yesus, “Engkau termasuk dalam bilangan para kudus-Ku.” Dan juga suara Bapa yang kekal, “Inilah puteri Kita yang terkasih.”
Sementara fajar merekah, Alexandrina tersenyum bak malaikat dan meminta Deolinda mengambilkan salib dan medali SP Maria Berdukacita, sebab ia ingin menciumnya. Ketika benda-benda sakramentali ini dibawakan kepadanya, Deolinda bertanya, “Kepada siapakah engkau sekarang tersenyum?”
Dan Alexandrina hanya dapat mengguman, “Surga… Surga.” Menjelang pukul 8 pagi, Alexandrina menyambut Komuni Kudus, komuninya yang terakhir, dengan kasih dan devosi yang berkobar. Kemudian, sementara keheningan kamar bergetar dengan sanak saudara, para imam dan para peziarah yang berdoa, Alexandrina menyampaikan kepada mereka dan kepada segenap umat manusia:
“Jangan berdosa. Kesenangan hidup ini tak berarti apapun. Sambutkah Komuni, berdoalah Rosario setiap hari. Ini meringkas semuanya.”
Tengah hari, ia gemetar karena sukacita, “O, aku begitu bahagia, begitu bahagia, sebab akhirnya aku akan segera ke surga!” Mgr Mendes berlutut dan memimpin semua yang hadir mendaraskan doa-doa bagi ia yang menjelang ajal. Sakitnya yang tiada henti, menyiksa Alexandrina hingga akhir; dan sementara matahari tenggelam di langit yang kemerah-merahan, cahaya hidupnya semakin meredup. Dengan sisa-sisa tenaga, ia mencium salib dan medali SP Maria Berdukacita. “Selamat tinggal,” bisiknya nyaris tak kedengaran, “kita akan bertemu lagi di surga. Ya, di surga! Aku pergi ke surga… segera… sekarang!”
Pada pukul 8.29 petang, jiwa kudus itu dijemput pulang ke rumah Bapanya.
Dua tahun sesudah wafatnya, sebuah kapel kecil dibangun di atas makamnya. Pada tahun 1978, keuskupan memindahkan jenazah Alexandrina ke suatu tempat kehormatan dalam Gereja St Eulalia di mana tubuhnya disemayamkan hingga hari ini. Pada tanggal 12 Januari 1996, Alexandrina dimaklumkan sebagai Venerabilis dan pada tanggal 25 April 2004 dimaklumkan sebagai Beata oleh Paus Yohanes Paulus II yang menetapkan pestanya dirayakan pada tanggal 13 Oktober.
Semasa hidupnya, Alexandrina telah menubuatkan bahwa tubuhnya akan menjadi abu, tanpa mengalami pembusukan. Ketika di kemudian hari makamnya dibuka, memang demikianlah yang terjadi. Tak ada tubuh ataupun tulang - hanya abu. Abu ini pada kesempatan-kesempatan tertentu memancarkan harum surgawi yang sama seperti yang biasa terpancar dari tubuh Alexandrina semasa hidupnya. Sebuah seruan kepada umat manusia yang berdosa, yang didiktekan Alexandrina pada tahun 1948, seturut permintaannya, diukirkan pada makamnya:
“Para pendosa: jika abu tubuhku dapat berguna untuk menyelamatkan kalian, marilah; jika perlu, berjalanlah di atasnya, injak-injaklah hingga lenyap tak berbekas; tetapi janganlah pernah berdosa lagi, janganlah pernah menghinakan Yesus lagi.
Para pendosa: Ada begitu banyak yang hendak aku katakan kepada kalian. Makam yang luas ini tak dapat memuat semua yang hendak aku tuliskan. Bertobatlah. Jangan lagi menghinakan Tuhan kita yang terkasih. Jangan sampai kehilangan Yesus sepanjang kekekalan masa. Ia begitu amat baik. Cukup sudah dosa! Kasihilah Dia! Kasihilah Dia!
Sumber“disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”
Sungguh aku membacanya dengan seksama. Tuhan, kasihilah aku orang berdosa.
ردحذفإرسال تعليق