Rabu, 08 Agustus 2012

Orang Kudus Hari Ini


Santa Teresa Benedikta dari Salib



JITSCHEL

Edith Stein adalah yang bungsu dari total sebelas anak pasangan Yahudi-Ortodoks Siegfried Stein dan Auguste Courant Stein. Ia dilahirkan di Breslau pada tanggal 12 Oktober 1891, tepat saat keluarganya merayakan Yom Kippur, perayaan terpenting bangsa Yahudi, Hari Pendamaian Agung. Lebih dari segalanya, hal ini menjadikan si bungsu “Jitschel” amat berharga di mata ibunya. Dilahirkan pada hari istimewa pendamaian ini bagai suatu nubuat bagi Jitschel kecil, yang kelak menjadi seorang biarawati Karmelit.

Ayah Edith, seorang pengusaha kayu, meninggal dunia mendadak ketika Edith beranjak dua tahun. Ibunya, seorang yang amat saleh, pekerja keras, berkemauan kuat dan sungguh seorang perempuan yang mengagumkan, sekarang harus menghidupi dirinya sendiri, mengurus keluarga serta mengelola perusahaan kayu suaminya. Kesemuanya itu ditunaikannya dengan berhasil, namun demikian, ia tidak berhasil dalam memelihara iman yang hidup dalam diri anak-anaknya. Edith kehilangan imannya akan Tuhan. “Aku secara sadar memutuskan, atas kemauanku sendiri, untuk berhenti berdoa,” katanya.


 MAHASISWI

Sejak masih amat muda usianya, Edith menunjukkan antusiasme dan kecemerlangan dalam belajar. Pada tahun 1911, Edith lulus cum laude dari ujian akhir sekolah. Ia melanjutkan kuliah di Universitas Breslau untuk belajar bahasa Jerman dan sejarah, meski ini hanya sekedar pilihan “sampingan”. Minatnya yang sesungguhnya adalah dalam bidang filsafat dan peran perempuan. Ia menjadi anggota Serikat Prussian untuk Hak Perempuan. Ia berjuang keras demi memperbaiki nasib perempuan. “Semasa di sekolah dan semasa tahun-tahun pertamaku di universitas,” tulisnya kemudian, “aku seorang aktivis yang radikal. Kemudian minatku hilang dalam segala urusan itu. Sekarang aku mencari solusi-solusi pragmatis yang murni.”

Pada tahun 1913, Edith Stein pindah ke Universitas Göttingen dan belajar filsafat di bawah bimbingan Professor Edmund Husserl, seorang filsuf tersohor dan penggagas fenomenologi. Edith menjadi murid dan asisten pengajarnya, dan Husserl membimbingnya untuk meraih doktorat. Pada masa itu, siapapun yang tertarik pada filsafat akan terpikat oleh pandangan realitas baru Husserl, di mana dunia seperti yang kita rasakan tidak hanya ada di jalan Kantian, dalam persepsi subyektif kita. Murid-muridnya melihat filsafat Husserl sebagai kembali ke obyek, “back to things”. Fenomenologi Husserl tanpa disadari menghantar banyak muridnya ke iman Kristiani. Di Göttingen, Edith juga bertemu dengan filsuf Max Scheler, yang mengarahkan perhatiannya ke Katolik Roma.

Edith tidak melalaikan kuliah-kuliah “sampingan”nya dan lulus cum laude pada bulan Januari 1915, meski ia mengikutinya tanpa bimbingan dosen.

“Aku tak lagi memiliki hidupku sendiri,” tulisnya di awal Perang Dunia Pertama, setelah menamatkan kursus perawat dan pergi melayani di sebuah rumah sakit lapangan Austria. Ini adalah masa yang sulit baginya, di mana ia merawat mereka yang sakit di bangsal tifus dan melihat orang-orang muda mati. Walau demikian, Edith bekerja sepenuh hati dan mendapatkan medali penghargaan atas keberanian dan pelayanannya yang tanpa pamrih. Ketika rumah sakit dibubarkan pada tahun 1916, ia mengikuti Husserl sebagai asistennya ke Freiburg, di mana ia lulus dari doktoratnya dengan summa cum laude pada tahun 1917 pada usia 25 tahun dan menerima gelar Doktor Filsafat setelah menyelesaikan tesis “Problem Empati.”

Pada masa ini Edith pergi ke Katedral Frankfurt dan melihat seorang perempuan dengan keranjang belanja masuk ke dalam gereja untuk berlutut memanjatkan doa singkat. “Ini sesuatu yang sama sekali baru bagiku. Di sinagoga-sinagoga dan di gereja-gereja Protestan yang telah aku kunjungi, orang hanya pergi menghadiri kebaktian. Tetapi di sini, aku melihat seorang yang datang tepat dari keramaian pasar ke dalam gereja kosong ini, seolah ia hendak mengadakan suatu percakapan yang mesra. Ini sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan.” Di akhir disertasinya ia menulis, “Ada orang-orang yang percaya bahwa suatu perubahan yang sekonyong-konyong terjadi atas diri mereka dan bahwa ini adalah karena rahmat Allah.”

Edith Stein bersahabat baik dengan asisten Husserl di Göttingen, Adolf Reinach, dan isterinya. Ketika Reinach gugur pada bulan November 1917, Edith pergi ke Göttingen untuk mengunjungi jandanya. Suami isteri Reinach telah memeluk agama Protestan. Pada awalnya, Edith merasa canggung menemui janda muda ini, tetapi ia terkejut ketika sesungguhnya ia menjumpai seorang perempuan penuh iman. “Inilah perjumpaan pertamaku dengan Salib dan kuasa ilahi yang diberikan kepada mereka yang menanggungnya … itulah saat ketika ketidakpercayaanku hancur dan Kristus mulai menyinarkan terang-Nya atasku - Kristus dalam misteri Salib.”

Di kemudian hari Edith menulis, “Apapun yang tidak sesuai dengan rencanaku sendiri sungguh berada dalam rencana Allah. Aku bahkan memiliki keyakinan yang terlebih mendalam dan terlebih teguh lagi bahwa tak suatupun yang sekedar kebetulan belaka apabila dilihat dalam terang Tuhan, bahwa seluruh hidupku hingga ke hal-hal yang paling detil sekalipun telah dirancangkan bagiku dalam rencana Penyelenggaraan Ilahi dan memiliki makna yang sepenuhnya dan logis dalam pandangan Tuhan yang melihat semuanya. Jadi aku mulai bersukacita dalam terang kemuliaan di mana makna ini akan disingkapkan bagiku.”

Pada musim gugur 1918, Edith Stein mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai asisten pengajar Husserl. Ia ingin bekerja mandiri. Baru pada tahun 1930 Edith bertemu kembali dengan Husserl setelah pertobatannya, dan ia berbagi iman dengannya, sebab ia ingin Husserl menjadi seorang Kristiani juga. Lalu Edith menuliskan kata-kata nubuat ini, “Setiap saat aku merasakan ketakberdayaanku dan ketakmampuanku untuk mempengaruhi orang secara langsung, aku menjadi semakin sadar akan perlunya `holocaust'ku sendiri.”

Edith Stein mendamba gelar professor, suatu impian yang mustahil bagi seorang perempuan pada masa itu. Husserl menuliskan referensi berikut, “Andai karir akademis terbuka bagi kaum perempuan, maka aku akan merekomendasikannya dengan segenap hatiku dan sebagai pilihan pertamaku untuk gelar tersebut.” Edith akhirnya ditolak terutama karena ia seorang Yahudi.

Sekembalinya ke Breslau, Edith Stein mulai menulis artikel-artikel mengenai dasar filosofis dari psikologi. Tetapi, ia juga membaca Perjanjian Baru, Kierkegaard dan Latihan Rohani St Ignatius dari Loyola. Ia merasa bahwa orang tak dapat sekedar membaca sebuah buku macam itu, melainkan harus mengamalkannya.


 “INILAH KEBENARAN!”

Pada musim panas 1921, ia melewatkan beberapa minggu di Bergzabern (di Palatinate) di tempat Hedwig Conrad-Martius, seorang murid Husserl. Hedwig dan suaminya telah memeluk agama Protestan. Suatu sore, dari perpustakaan Hedwig, Edith mengambil secara acak sebuah buku yang ternyata adalah buku otobiografi St Theresia dari Avila, dan terus ia membaca buku tersebut sepanjang malam hingga fajar merekah. “Ketika aku selesai membaca, aku berkata kepada diriku sendiri: Inilah kebenaran!”

Keesokan harinya, Edith membeli buku Misa dan Katekismus yang di hari-hari selanjutnya menjadi tumpuan perhatiannya. Ketika dirasa ia sudah cukup paham, Edith untuk pertama kalinya masuk ke sebuah Gereja Katolik dan dengan mudah mengikuti jalannya Misa. Ia ingin dibaptis segera; dan ketika Pastor Breitling mengatakan bahwa agar dapat dibaptis orang perlu persiapan untuk mengenal ajaran dan tradisi-tradisi Gereja, ia menjawab, “Ujilah saya!” Ini dilakukan pastor dan Edith lulus dengan cemerlang.  

“Edith, pernahkah engkau memohon rahmat iman sebelum engkau bertobat?” Jawabnya, “Terus-menerus mencari kebenaran itulah satu-satunya doaku.” Dan kepada seorang biarawati Benediktin sahabatnya, Edith menulis, “Barangsiapa mencari kebenaran, entah sadar atau tidak, ia mencari Tuhan.”

Pada tanggal 1 Januari 1922, Teresa Edith Stein menerima Sakramen Baptis dan Sakramen Komuni Pertama di Gereja Santo Martinus, Bergzabern. Hari itu adalah hari Peringatan Penyunatan Yesus, ketika Yesus masuk ke dalam perjanjian Abraham. Teresa Edith Stein berdiri dekat bejana baptis dengan mengenakan gaun pengantin putih milik Hedwig Conrad-Martius. Dengan dispensasi khusus Bapa Uskup, Hedwig menjadi wali baptisnya. “Aku meninggalkan agama Yahudiku ketika aku masih seorang gadis berusia empatbelas tahun dan tidak lagi merasakan keyahudian hingga akhirnya aku kembali kepada Tuhan.” Sejak saat itu ia terus-menerus sadar sepenuhnya bahwa ia adalah milik Kristus bukan hanya secara rohani, melainkan juga karena hubungan darah. Pada tanggal 2 Februari, hari Peringatan Pentahiran Maria - suatu hari yang merujuk pada Perjanjian Lama - ia menerima Sakramen Penguatan oleh Uskup Speyer di kapel pribadi bapa uskup.

Edith langsung menuju Breslau: “Mama,” katanya dengan berlutut sembari menggenggam kedua tangan sang ibu, “Aku seorang Katolik.” Ibunya yang seorang Yahudi saleh itu bagai disambar petir. Kemudian perlahan airmata berlinang-linang membasahi wajahya yang keriput. Edith belum pernah melihat ibunya yang tegar itu menangis! Ini terlalu berat baginya. Dalam keluarganya, Katolik dianggap sekte yang hina. Edith siap menerima teguran yang paling tajam sekalipun, ia bahkan khawatir akan diusir dari rumah. Tetapi, airmata itu, ungkapan kesedihan hati yang terdalam. Kedua perempuan itu pun menangis. Hedwig Conrad Martius menulis: “Lihat, inilah dua orang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (bdk Yohanes 1:47).


 FRAULEIN DOCTOR

Segera setelah pertobatannya, kerinduan Edith Stein yang terdalam adalah menggabungkan diri dalam sebuah biara Karmelit. Tetapi, para pembimbing rohaninya, Vikaris Jenderal Schwind dari Speyer, dan P Erich Przywara SJ, untuk sementara menghalanginya. Mereka beranggapan bahwa rencana Tuhan adalah bahwa Edith Stein mengabdi Gereja lewat ilmunya. P Schwind mengatur agar Edith menjadi guru bahasa Jerman dan sejarah di sekolah Suster-suster Dominikan dan juga guru pembimbing mereka yang akan masuk universitas di Biara St Magdalena di Speyer.

“Segalanya untuk semua orang,” itulah semboyan Edith sejak ia menjadi Katolik, dan dalam hal itu ia menjadi teladan bagi semua orang. Satu dari banyak kesaksian yang ditulis oleh para mantan muridnya mengatakan, “Kami baru berumur tujuhbelas tahun dan Fraulein (= nona) Doctor mengajar kami bahasa Jerman. Sesungguhnya ia memberi kami segalanya. Kami masih sangat muda, namun daya tarik yang terpancar darinya tak akan pernah kami lupakan. Tiap-tiap hari kami melihat dia berlutut di bangku doanya, di depan koor, selama Perayaan Ekaristi. Maka kami mulai sedikit mengerti apa artinya iman dan sikap hidup yang diserasikan. Bagi kami, di usia yang penuh kritik, sikapnya saja sudah menjadi teladan. Kami tak pernah melihat dia lain daripada anggun, tenang dan pendiam. Seperti itu ia selalu masuk ke kelas kami, seperti itu juga ia seminggu sekali menemani kami waktu rekreasi….”

Pada saat yang sama, Abbas Agung Raphael Walzer dari Biara Beuron mendorongnya untuk menerima tawaran memberikan ceramah-ceramah. Sebanyak mungkin Edith menerima tawaran ini yang merupakan sarana baginya untuk mewartakan iman Katolik. Jadi Edith melewatkan hari-harinya dengan mengajar, memberikan kuliah, menulis dan menerjemahkan, memberikan ceramah-ceramah baik di Jerman maupun di luar negeri, dan segera saja ia terkenal sebagai seorang filsuf dan pengarang yang ternama, meski yang didambakannya adalah keheningan dan kontemplasi di Karmel. Pernah ia dicela karena dianggap terlalu kuat menggarisbawahi segi adikodrati, yang dijawabnya dengan tegas, “Jika aku tidak berbicara tentang hal ini, maka tak ada gunanya aku duduk di atas mimbar.”

Edith belajar bahwa adalah mungkin untuk “mengejar ilmu pengetahuan sebagai suatu pelayanan kepada Tuhan…. Hingga aku memahami hal ini maka aku mulai secara serius menekuni karya akademis kembali.” Edith bekerja keras luar biasa, menerjemahkan surat-surat dan buku harian Kardinal Newman dari masa sebelum ia menjadi Katolik, pula Quaestiones Disputatae de Veritate tulisan St Thomas Aquinas. Karya yang disebut belakangan ini merupakan suatu terjemahan yang sangat bebas, demi kepentingan dialog dengan filosofi modern. P Erich Przywara juga mendorongnya untuk menuliskan karya-karya filosofisnya sendiri. “Pada masa menjelang dan awal pertobatanku, aku pikir bahwa melewatkan suatu kehidupan religius berarti meninggalkan segala hal-hal duniawi dan mengarahkan akal budi pada hal-hal ilahi saja. Namun demikian, perlahan-lahan, aku belajar bahwa hal-hal lain juga diharapkan dari kita di dunia ini…. Aku bahkan percaya bahwa semakin seorang tenggelam dalam Tuhan, semakin ia harus `mengatasi dirinya sendiri' dalam hal ini, yakni, masuk ke dalam dunia dan melaksanakan hidup ilahi di dalamnya.”

Pada tahun 1931, Edith Stein meninggalkan sekolah biara di Speyer dan membaktikan diri untuk meraih gelar professor kembali, kali ini di Breslau dan Freiburg, meski ternyata usahanya sia-sia belaka. Pada waktu itulah ia menulis “Potensi dan Tindakan”, suatu studi mengenai konsep-konsep inti yang dikembangkan oleh St Thomas Aquinas. Di kemudian hari, di Biara Karmelit di Cologne, ia menulis ulang studi ini demi menghasikan karya utamanya dalam filosofis dan teologis, “Keterbatasan dan Keabadian” yang diselesaikannya pada tahun 1936. Tetapi, karena hukum anti Yahudi yang diberlakukan pada masa itu, karyanya tidak dapat dipublikasikan hingga tahun 1950.

Pada tahun 1932, ia menerima jabatan dosen di Institut Jerman untuk Ilmu Pedagogi di Universitas Munster, di mana ia mengembangkan antropologinya. Dengan gemilang Edith memadukan ilmu pengetahuan dan iman dalam karya dan pengajarannya, sebagai usaha menjadi “alat Tuhan” dalam segala yang ia ajarkan. “Jika seorang datang kepadaku, aku ingin menghantarnya kepada Dia.”

Serangan terhadap bangsa Yahudi semakin gencar dan pada tahun 1933, Adolf Hitler dan Partai Nazi berkuasa di Jerman. “Aku telah mendengar perlakuan buruk terhadap bangsa Yahudi sebelumnya. Tetapi sekarang mulai tampak bagiku bahwa Tuhan telah menekankan tangan-Nya dengan kuat ke atas umat-Nya, dan bahwa nasib bangsa ini juga akan menjadi nasibku.” Hukum Arian Nazi menjadikan mustahil bagi Edith Stein untuk terus mengajar, “Jika aku tak dapat terus di sini, maka tidak akan ada lagi kesempatan bagiku di Jerman,” tulisnya; “aku telah menjadi seorang asing di dunia.”

Sekarang P Walzer, Abbas Agung Beuron yang menjadi pembimbing rohaninya, tak lagi menghalanginya untuk masuk biara Karmelit. Sementara di Speyer, Edith telah mengucapkan kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Pada tahun 1933 ia bertemu dengan Priorin Biara Karmelit di Cologne. Ketika diberitahukan kepadanya bahwa ia tidak usah berharap dapat melanjutkan karya ilmiahnya di Karmel, Edith menjawab sepenuh hati, “Karya manusia tak ada gunanya, yang berarti hanyalah sengsara Kristus. Dan adalah kerinduanku untuk ikut ambil bagian di dalamnya.”

TERESA BENEDIKTA DARI SALIB

Edith Stein pergi ke Breslau terakhir kalinya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada ibu dan keluarganya. Hari terakhirnya di rumah adalah tepat hari ulang tahunnya, 12 Oktober, yang adalah juga hari terakhir Pesta Tabernakel. Edith pergi ke sinagoga bersama ibunya. Sungguh hari yang sulit bagi keduanya. “Mengapakah engkau harus mengenalnya [Kekristenan]?” tanya sang ibu, “aku tak hendak berbicara melawan-Nya. Mungkin Ia seorang yang amat baik. Tetapi mengapakah Ia menjadikan DiriNya Tuhan?” Sang ibu meneteskan airmata kepedihan di dada anaknya. Pasti dengan hati Yahudinya yang terluka dan berdarah ia bertanya kepada Allah Israel, mengapa anak ini, yang dicintainya secara istimewa karena dilahirkan pada Hari Raya Pendamaian, harus diutus ke padang gurun yang begitu sepi, begitu jauh dari kaum keluarganya, begitu jauh dari kaum bangsanya….

Keesokan harinya Edith berangkat dengan kereta api ke Cologne. “Aku tidak merasakan sukcita yang meluap. Apa yang baru saja aku alami terlalu mengerikan. Tetapi aku merasakan suatu damai yang luar biasa - dalam perlindungan aman kehendak Allah.” Sejak itu ia menulis kepada ibunya setiap minggu, meski tidak pernah menerima balasan. Tetapi Rosa, saudarinya, mengiriminya kabar dari Breslau.

Edith menggabungkan diri dengan Biara Karmelit di Cologne pada tanggal 14 Oktober 1933, dan menerima busana Karmel pada tanggal 15 April 1934. Misa Kudus dipersembahkan oleh Abbas Agung Beuron. Edith Stein sekarang dikenal sebagai Suster Teresia Benedicta a Cruce - Teresa, yang terberkati dari Salib. Pada tahun 1938 ia menulis, “Aku memahami salib sebagai takdir umat Allah, yang mulai tampak pada waktu itu (1933). Aku merasa bahwa mereka yang memahami Salib Kristus hendaknya membebankannya pada diri mereka sendiri atas nama semua orang. Tentu saja, aku tahu dengan lebih baik sekarang apa artinya dikawinkan dengan Tuhan dalam Tanda Salib. Namun demikian, orang tidak akan pernah dapat memahaminya, sebab itu suatu misteri.” Pada tanggal 21 April 1935, Sr Teresa Benedikta mengucapkan kaul sementara. Ketika itulah ia menulis, “Seorang Karmelit dapat membalas kasih Tuhan dengan melaksanakan tugas kewajiban sehari-hari dengan setia dan penuh bakti …. Inilah `jalan kecil', suatu rangkaian bunga yang disusun dari bunga-bunga kecil tak berharga yang setiap hari ditempatkan di hadapan Allah yang Mahakuasa - mungkin suatu kemartiran dalam diam, sepanjang hidup, yang tak diketahui orang dan yang pada saat bersamaan adalah sumber damai mendalam dan sukacita sejati dan sumber rahmat yang meluapi semuanya - kita tidak tahu kemana ia pergi, dan orang-orang yang menerimanya tidak tahu darimana ia berasal.”

Pada tanggal 14 September 1936, pembaharuan kaulnya bertepatan dengan wafat ibunya di Breslau. “Ibuku berpegang teguh pada imannya hingga saat terakhir. Sebab iman dan keyakinannya yang teguh kepada Tuhan-nya … adalah hal terakhir yang masih hidup di saat sakrat mautnya, aku yakin bahwa ia akan bertemu dengan seorang hakim yang sungguh berbelas kasihan dan bahwa ia sekarang adalah penolongku yang paling setia, sehingga aku dapat mencapai tujuanku pula.”

Ketika ia mengucapkan Kaul Kekal pada tanggal 21 April 1938, kata-kata St Yohanes dari Salib dituliskan pada gambar devosionalnya, “Sejak saat ini, satu-satunya panggilanku adalah mencinta.” Karya terakhirnya dipersembahkannya kepada St Yohanes dari Salib.


 “YANG TERBERKATI DARI SALIB”

Masuknya Edith Stein ke Ordo Karmelit bukanlah pelarian. “Mereka yang menggabungkan diri dengan Ordo Karmelit tidak hilang bagi orang-orang terdekat dan terkasih, melainkan dimenangkan bagi mereka, sebab adalah panggilan kami untuk menjadi perantara semua orang kepada Tuhan.” Secara istimewa, ia menjadi perantara bangsanya kepada Tuhan, “Aku terus-menerus memikirkan Ratu Ester yang direnggut dari bangsanya tepat karena Allah menghendakinya untuk memohon kepada raja atas nama bangsanya. Aku seorang Ester yang amat malang dan tanpa daya, tetapi Raja yang telah memilihku tak terhingga dalam kuasa dan belas kasihan-Nya. Ini sungguh merupakan penghiburan besar bagiku” (31 Oktober 1938).

Pada tanggal 9 November 1938, gerakan anti-Semit oleh Nazi menjadi semakin nyata di hadapan seluruh dunia. Sinagoga-sinagoga dibumihanguskan, harta milik orang-orang Yahudi dijarah dan dirampas; orang-orang Yahudi dicekam ketakutan yang ngeri. Priorin Biara Karmelit di Cologne melakukan yang terbaik demi memindahkan Sr Teresia Benedicta a Cruce ke luar negeri. Pada malam Tahun Baru 31 Desember 1938, Sr Teresia diselundupkan melewati perbatasan ke Belanda, ke Biara Karmelit di Echt di Provinsi Limburg. Di sinilah ia menuliskan wasiatnya tertanggal 9 Juni 1939, “Bahkan sekarang aku menerima kematian yang telah Tuhan persiapkan bagiku dalam penyerahan diri sepenuhnya dan dengan sukacita sebagai kehendak-Nya yang terkudus bagiku. Aku memohon kepada Tuhan untuk menerima hidupku dan matiku … sehingga Tuhan akan diterima oleh umat-Nya dan bahwa Kerajaan-Nya akan datang dalam kemuliaan, demi keselamatan Jerman dan perdamaian dunia.”

Ketika di biara Cologne, Sr Teresa Benedikta diberi ijin untuk memulai studi akademisnya kembali. Ia merasa memiliki suatu kesempatan dan tanggung jawab unik, sebagai seorang Katolik Yahudi, untuk menjembatani jurang pemisah antara pemahaman Kristiani dan Yahudi. Ia menulis buku “Kehidupan sebuah Keluarga Yahudi” (yaitu keluarganya sendiri) berusaha menunjukkan kesamaan pengalaman manusiawi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristiani dalam kehidupan mereka sehari-hari. “Aku hanya ingin menceritakan apa yang aku alami sebagai bagian dari bangsa Yahudi,” katanya, menunjukkan bahwa “kami yang dibesarkan dalam agama Yahudi mempunyai kewajiban untuk menjadi saksi … kepada generasi muda yang dibesarkan dalam kebencian rasial dari sejak awal kanak-kanak.”

Di Echt, Sr Teresa Benedikta dengan cepat menyelesaikan studinya “Guru Mistik Gereja dan Bapa Karmelit, Yohanes dari Salib, dalam peringatan 400 tahun kelahirannya, 1542-1942.” Pada tahun 1941, ia menulis kepada seorang sahabat, yang adalah juga anggota ordonya, “Orang hanya dapat memperoleh scientia crucis (pengetahuan tentang salib) jika orang telah secara mendalam mengalami salib. Aku yakin akan hal ini sejak dari saat pertama dan seterusnya dan mengatakannya dengan segenap hatiku: `Ave, Crux, Spes unica!” (Aku menyambut Engkau, wahai Salib, satu-satunya pengharapan kami).” Studinya mengenai St. Yohanes dari Salib diberinya judul: “Kreuzeswissenschaft” (Ilmu tentang Salib); karyanya yang tak pernah terselesaikan.

Salibnya sendiri sudah di ambang pintu, sebab Nazi telah menguasai Belanda yang netral. Dan ketika para Uskup Katolik Roma Belanda menentang pembuangan dan pembantaian orang-orang Yahudi, Nazi menangkap semua orang Katolik keturunan Yahudi, termasuk para imam dan para religius, di Belanda sebagai tindakan balas dendam.

Sr Teresa Benedikta ditangkap oleh Gestapo pada tanggal 2 Agustus 1942 ketika ia sedang di kapel bersama para biarawati lainnya. Ia diwajibkan melapor dalam waktu lima menit, bersama dengan Rosa - saudarinya yang telah menjadi Katolik dan seorang Karmelit Ordo Ketiga - yang melayani di Biara Echt. Dengan menggandeng tangan Rosa, Sr Teresa mengatakan, “Mari, kita pergi untuk bangsa kita.”


 “AVE, CRUX, SPES UNICA”

Bersama dengan banyak orang Yahudi lainnya, kedua perempuan ini dibawa ke suatu kamp perhentian di Amersfoort dan kemudian dari Amersfoort ke Westerbork. Kepada Priorin Karmel di Cologne, diceritakan orang sebagai berikut, “Di antara para tahanan yang datang pada tanggal 4 Agustus, Sr [Teresa] Benedikta mencolok karena ketenangannya yang dalam dan kegembiraannya. Penderitaan dan ketegangan dalam kamp itu tak terlukiskan. Sr Benedikta berkeliling di antara ibu-ibu, menghibur, menolong, menenangkan, bagai seorang malaikat. Banyak ibu-ibu yang nyaris gila, sudah berhari-hari tidak menghiraukan anak-anak mereka. Mereka bingung dan putus asa. Sr Benedikta memperhatikan anak-anak yang malang itu, memandikan dan menyisir rambut mereka… ia memberi contoh pengabdian yang tak kenal lelah, yang begitu baik, yang mengherankan semua orang.”

Ny Bromberg, salah seorang yang ada di kamp konsentrasi bersama Sr Benedikta dan kemudian dibebaskan, memberikan kesaksian, “Perbedaan besar antara Edith dan suster-suster lainnya adalah karena ia pendiam. Kesan pribadiku ialah bahwa ia sangat sedih, tidak takut, tetapi tak dapat kukatakan yang lain daripada bahwa ia memberi kesan harus memikul beban berat penderitaan, yang bahkan bila ia tersenyum, orang merasa terlebih sedih lagi. Ia hampir tidak berbicara, hanya seringkali ia memandangi kakaknya Rosa dengan amat sangat sedih. Pada saat aku menuliskan ini, muncul pikiran bahwa ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya dan orang lain…. Sekali lagi, ini adalah kesanku: bahwa ia memikirkan penderitaan yang akan datang, bukan penderitaannya sendiri, karena ia terlalu tenang dan hampir kukatakan terlalu tenteram, melainkan penderitaan yang akan menimpa orang lain. Seluruh penampilannya sampai sekarang memberi aku kesan, bila aku membayangkannya lagi, duduk di muka barak: suatu patung pieta tanpa Kristus.”

Prof Jan Nota, yang begitu dekat dengan Sr Teresa Benedikta, di kemudian hari menulis, “Ia adalah saksi kehadiran Tuhan dalam suatu dunia di mana Tuhan absen.” Sr Teresa Benedikta sendiri mengatakan, “Aku tidak pernah tahu bahwa orang dapat seperti ini, pun aku tidak tahu bahwa saudara dan saudariku akan harus menderita seperti ini. … Aku berdoa bagi mereka setiap saat. Adakah Tuhan mendengarkan doa-doaku? Tentu Ia akan mendengarkan mereka dalam sengsara mereka.”

Pada tanggal 7 Agustus, pagi-pagi benar, 987 orang Yahudi dideportasi ke Auschwitz, Polandia dengan kereta api. Dalam perjalanan, kira-kira pukul 12 siang, mereka tiba di Schifferstadt. Sr Teresa Benedikta meminta petugas kereta api untuk menyampaikan salam kepada keluarga P Schwind - pembimbing rohaninya yang telah wafat - yang tinggal di kota ini, “Saya diperjalanan ke arah timur! Ke arah timur! Ad orientem! Menuju kepada terang!” Inilah kata-katanya yang terakhir.

Pada tanggal 9 Agustus Suster Teresia Benedicta a Cruce bersama saudarinya dan banyak kaum bangsanya dibantai dengan gas beracun dalam kamar gas Nazi dan kemudian jenazah mereka dibakar secara massal di krematorium di sana.


 SANTA PELINDUNG EROPA

Ketika Edith Stein dibeatifikasi di Cologne pada tanggal 1 Mei 1987, Gereja menghormati “seorang puteri Israel,” seperti dinyatakan Paus Yohanes Paulus II, yang, sebagai seorang Katolik pada masa penganiayaan Nazi, tetap setia kepada Tuhan Yesus Kristus yang tersalib, dan sebagai seorang Yahudi, kepada bangsanya dalam kasih setia.”

Pada tanggal 11 Oktober 1998, Edith Stein atau Sr Teresa Benedikta dari Salib dimaklumkan sebagai Santa oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma. Setahun kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1999, paus yang sama memaklumkan St Edith Stein, bersama dengan St Katarina dari Sienna dan St Brigitta dari Swedia, sebagai pelindung Eropa. Sebelumnya, Eropa hanya memiliki tiga santo pelindung: St BenediktusSt Sirilus dan St Methodius. Bapa Suci mengatakan bahwa ia memaklumkan ini “guna menekankan peran penting yang telah dimainkan dan yang dimiliki kaum perempuan dalam gereja dan dalam sejarah sipil Eropa.”

Sumber: 1.“Teresa Benedict of the Cross Edith Stein”; www.vatican.va; 2.“Dr Edith Stein - Sr Teresa Benedikta dari Salib OCD : Kurban untuk Bangsanya”; Sr M. Emerentia OP; Biara Karmel Lembang; 3. berbagai sumber, “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Pemikiran : Puasa dan Harga


Puasa dan Naiknya Harga

Pada hari Jumat lalu (13 Juli, pukul 16:08), mengikuti gaya penulisan Mang Usil di pojok Kompas, saya menulis di status facebook saya begini:
Beberapa hari terakhir banyak pejabat bilang bahwa persediaan sembako aman selama ramadhan.
Harganya yang gak nyaman, bos!!!

Satu jam kemudian, persisnya pukul 17: 09, seorang teman menanggapi status saya tersebut dengan menulis: “Biasanya harga sembako naik seputar lebaran ..... Why?”

Saya tidak langsung menjawab, karena memang saya tidak membaca tanggapan sahabat facebook itu. Tentu karena disebabkan saya lagi tidak online. Saya baru membuka internet di laptop saya pada pukul 21:45. Ketika saya membuka facebook, saya langsung membaca tanggapan teman saya itu. Lalu saya membalasnya dengan menulis singkat: hukum ekonomi: permintaan banyak, barang sedikit = harga tinggi.  Tercatat dalam facebook, tanggapan saya terkirim pada pukul 21:48.

Meski mendasarkan jawaban pada hukum ekonomi, bukan berarti saya ini ahli dalam ilmu ekonomi. Apa yang saya ungkapkan itu merupakan sisa-sisa pelajaran ekonomi yang pernah saya dapat waktu SMA dulu (tahun 1988).

Lebaran dan Hukum Ekonomi

Ketika menanggapi tulisan saya di status facebooksaya, mungkin teman saya itu belum terlalu memahami hukum ekonomi. Atau dia sudah tahu tapi punya maksud lain. Saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah bahwa dia bingung menghadapi realitas menjelang dan selama lebaran. Setiap kali menjelang dan sepanjang lebaran, dia selalu melihat, menyaksikan dan mendengar bahwa harga-harga barang, terlebih barang sembako, naik dari biasanya.

Sebenarnya bukan cuma menjelang lebaran. Setiap memasuki imlek atau Natal, harga-harga barang juga naik. Jadi, bukan hanya lebarannya saja.

Akan tetapi kebingungan teman saya terletak pada harga naik. Bukankah lebaran itu selalu dirayakan setiap tahun? Koq masih tetap naik harga barangnya. Kenapa kejadian kenaikan harga barang ini selalu terulang lagi? Apa berarti selama ini tidak ada penanganannya?

Mungkin teman saya ini mengambil pepatah, “Sebodoh-bodohnya keledai, tak jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nah, dengan prinsip ini, sebenarnya masalah kenaikan harga barang tidak perlu terjadi berkali-kali. Cukuplah satu atau dua kali. Ataukah kita bodoh melebihi keledai?

Kepadanya saya hanya memberikan sedikit jawaban. Saya hanya mengatakan bahwa apa yang terjadi sudah sesuai dengan hukum ekonomi. Dalam hukum ekonomi (pasar), di mana persediaan barang sedikit dan permintaan akan barang itu banyak, maka dengan sendirinya harga barang itu akan naik. Naiknya harga ini bisa dipahami agar barang tidak hilang dari pasar.

Karena itu, hukum ekonomi (pasar) ini bisa diterapkan dalam fenomena harga naik pada saat lebaran, baik mennyongsong maupun sepanjang lebaran. Bisa dikatakan bahwa menjelang lebaran persediaan barang yang dibutuhkan sangat sedikit, sementara para pamakainya banyak (atau pemakainya sedikit tapi barang yang akan dipakainya banyak). Hal ini membuat harga-harga barangnya menjadi naik. Sebagai contoh, telur. Pada hari biasa persediaan telur 1.000, sementara yang membutuhkannya hanya 10 orang, di mana tiap orang cuma butuh 1 atau 2 butir telur. Di sini telur akan dijual murah agar cepat habis. Tapi pada saat lebaran, di mana persediaan telur tetap 1.000, sementara yang butuh lebih dari 500, di mana tiap orang butuh 1 atau 2 butir, maka pedagang dengan sendirinya akan menaikkan harga telur itu. Atau juga yang butuh tetap 10 orang, tapi tiap orang membutuhkan 100 butir telur, tentulah pedagang juga akan menaikan harga telur. Inilah hukum ekonomi.

Haruskah Mengalah pada Hukum?

Mungkin inilah yang menjadi pergumulan teman saya itu. Mengapa harus naik setiap lebaran? Memang kenaikan itu merupakan suatu keharusan, sebagaimana yang telah diuraikan dalam hukum ekonomi. Menjadi persoalan adalah apakah keharusan itu sebagai sesuatu yang mutlak-absolut?

Manusia berhadapan dengan berbagai macam hukum. Kita dapat membagi hukum ini dalam dua bagian besar, yaitu hukum natural dan hukum positif. Hukum natural adalah buatan alam, sedangkan hukum positif adalah buatan manusia atau hasil pemikiran manusia.

Ketika manusia berada di atap gedung, dan ketika tidak ada pijakan kakinya, maka ia akan terjatuh ke bawah. Burung bisa terbang, manusia tidak bisa terbang seperti burung. Ini hukum natural. Alam sudah menentukannya demikian. Manusia tidak bisa mengubahnya. Manusia hanya bisa menerimanya.
Berbeda dengan hukum positif. Karena dia merupakan buatan manusia, tentulah rumusan hukumnya bisa diubah demi kepentingan manusia. Yang termasuk hukum positif adalah hukum pidana/perdata, norma-norma dan termasuk juga hukum ekonomi. Jadi, bisa dikatakan bahwa hukum ekonomi itu bisa diubah. Karena itu, setiap menyongsong dan selama lebaran harga barang BISA  DIBUAT  AGAR  TIDAK  NAIK. Dengan kata lain, kita bisa mengubah hukum ekonomi itu sehingga tidak ada kenaikan harga saat lebaran. Mungkinkah?

Tentu saja mungkin. Bukankah hukum ekonomi itu merupakan hukum positif yang dapat diubah demi kepentingan umat manusia? Manusia tidak boleh kalah dengan hukum yang dibuatnya sendiri. Seperti kata Yesus, “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”

Kita sudah mengetahui bahwa unsur-unsur yang menyebabkan harga naik tadi, yaitu persediaan barang yang terbatas, peminat yang banyak atau kebutuhan akan barang yang banyak. Peminat atau pemakai sebenarnya tidak terlalu banyak. Tentulah orang-orang itu saja yang membutuhkannya. Tak mungkin setiap lebaran jumlah penduduk kita bertambah banyak. Yang meningkat adalah kebutuhan akan barang. Orang membutuhkan barang dalam jumlah yang tidak biasanya. Jadi, bisa dikatakan bahwa penyebab kenaikan harga barang ini ada dua, yaitu persediaan barang dan kebutuhan.

Untuk mengendalikan harga pasar, tentulah dengan cara mengendalikan kedua unsur tadi. Pertama,persediaan barang harus ditingkatkan jumlahnya. Kejadian lebaran ini sebenarnya bukan hanya sekali dua kali saja terjadi, melainkan berkali-kali. Setiap tahun pasti orang mengalami lebaran. Karena itu, seharusnya sudah bisa diprediksikan berapa kebutuhan akan barang tertentu. Misalnya, kalau setiap lebaran kebutuhan akan telur sekitar 3000, maka menjelang lebaran harus sudah disediakan 3000-4000 butir telur.

Kedua, soal kebutuhan akan barang. Karena kebutuhan ini melekat pada manusia, maka yang perlu dikendalikan adalah manusianya. Apa yang harus dikendalikan dari manusianya? NAFSU! Nafsu manusialah yang harus dikendalikan, karena nafsu itulah yang mendorong manusia untuk membeli barang dalam jumlah yang sangat banyak. Jika seandainya nafsu itu dapat dikendalikan atau dimatikan, tentu manusia tidak akan membeli dalam jumlah yang banyak. Konsekuensinya, harga tidak akan naik. Persoalannya, dapatkah manusia mengendalikan nafsunya itu?

Seharusnya dapat. Bukankah masa lebaran adalah masa puasa. Puasa merupakan ibadah. Bulan puasa ini umat manusia diminta untuk mengendalikan hawa nafsunya. Dan salah satu hawa nafsu itu adalah nafsu membeli barang dalam jumlah yang banyak. Konsekuensi logisnya adalah di masa lebaran ini manusia mengendalikan hawa nafsunya, termasuk membeli barang dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga dengan demikian harga barang tidak akan naik.

Yang Bertanggung Jawab

Pertanyaan kita sekarang adalah, siapa yang bertanggung jawab akan semuanya ini?

Untuk pengendalian unsur yang pertama, yaitu persediaan barang, tentulah yang bertanggung jawab adalah pemerintah, para produsen dan para pedagang. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengatur ketersediaan barang di pasar. Dengan wewenang yang dimilikinya, pemerintah dapat mendesak para produsen untuk memproduksi barang dalam jumlah yang banyak menjelang lebaran. Dan para produsen harus menyediakan hal itu. Jika produsen memproduksi barang dalam jumlah yang banyak di saat mendekati lebaran, tentulah para pedagang tidak ada niat untuk melakukan penimbunan.

Memang pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian harga pasar ini. Namun bukan berarti kesalahan atas naiknya harga barang dalam masa puasa ini mutlak pada pemerintah. Tak pantaslah kita menyalahkan pemerintah saja atas kejadian ini. Pihak lain yang harus disalahkan adalah konsumen, yang merupakan unsur kedua.

Konsumen adalah pengguna atau pemakain barang. Ia merupakan unsur kedua yang bertanggung jawab atas kenaikan harga barang. Konsumen juga berperan penting dalam menstabilkan harga barang. Bagaimana caranya?

Masing-masing orang hendaknya mengendalikan hawa nafsunya untuk membeli barang dalam jumlah sangat banyak. Sebenarnya saat puasa (lebaran) adalah momen yang sangat tepat. Inti dari puasa adalah pengendalian hawa nafsu, bukan keserakahan yang terlihat dari naiknya porsi makanan. Orang selalu heran, kenapa di saat lebaran (bulan puasa) orang justru makan lebih banyak daripada biasanya. Bukankah puasa itu mengajak orang untuk menahan diri? Bukankah pada saat puasa (lebaran) orang hanya makan dua kali sehari?

Dengan adanya pengendalian dua unsur ini, tentulah kejadian naiknya harga barang menjelang dan sepanjang lebaran tidak akan terjadi lagi. Lebaran atau bukan kebutuhan orang akan barang tetaplah sama saja. Malah seharusnya di saat lebaran kebutuhan akan barang mesti turun, karena orang makan cuma 2 kali sehari (pagi dan malam). Semua ini bisa terjadi jika ada kemauan politik dari unsur-unsur yang berkaitan dengan kenaikan harga tadi.
Tg Balai Karimun, 19 Juli 2012

Selasa, 07 Agustus 2012

Psikologi : Makna Sejahtera


MEMAKNAI KESEJAHTERAAN

Tanggal 12 Juli lalu, di beberapa kota di Indonesia, diramaikan oleh aksi demo para buruh. Ribuan bahkan puluhan ribu demonstran, yang mayoritasnya adalah kaum buruh, turun ke jalan-jalan menyuarakan aspirasi mereka. Meskipun ada beberapa tuntutan, namun bisa dikatakan semuanya mengacu pada satu kata ini, yaitu S E J A H T E R A.

Selain buruh, demo menuntut kesejahteraan pernah dilakukan para guru dan juga para kepala desa. Bagi mereka gaji yang mereka terima saat itu tidak mencukupi untuk memenuhi kesejahteraan hidupnya dan keluarganya. Mereka minta kenaikan gaji agar mereka bisa mencapai kesejahteraan hidup.

Menjadi pertanyaan kita, apa sih sejahtera itu? Apakah sejahtera itu identik dengan kelimpahan harta kekayaan? Apakah dengan kenaikan gaji maka otomatis orang merasa sejahtera?

Bisa saja kita tertipu. Ada orang yang selama ini dianggap kaya raya, harta berlimpah, namun sebenarnya mempunyai utang yang tak berhingga. Sebenarnya, sejahtera mempunyai makna lebih dibandingkan hanya sekedar disebut sebagai orang kaya. Belum tentu semua orang kaya itu sejahtera. Sejahtera semestinya memiliki unsur kebahagiaan. Sementara kekayaan belum tentu dibarengi dengan kebahagiaan.

Kesejahteraan sebenarnya adalah ketika seseorang – secara relatif – baik itu primer, sekunder maupun tersier berdasarkan nilai yang ada pada diri seseorang. Mengapa demikian? Misalnya, Joni merasa dirinya sudah cukup kaya dan sejahtera ketika bisa menikmati makan tiga kali sehari, punya  rumah sederhana dan bisa menyekolahkan anak-anaknya. Joni merasa bahwa harta yang dimilikinya sudah mencukupi dan hidup bahagia.

Akan tetapi lain dengan Jono. Ia sudah memiliki rumah mewah, mobil bagus, deposito di berbagai bank dan kekayaan lainnya. Namun Jono melihat teman-temannya jauh lebih kaya daripada dirinya. Oleh karena itu, Jono merasa belum sejahtera. Dari situasi tersebut jelaslah bahwa besarnya harta tidak berbanding lurus dengan makna kesejahteraan secara relatif.

Dengan kata lain, sejahtera sebenarnya dimulai dari konsep berpikir atau persepsi terhadap kesejahteraan itu sendiri. Jadi, tidak mengherankan kalau Joni merasa sejahtera, sementara Jono masih merasa “sengsara”. Makanya, disebut sebagai nilai relatif.

Ada beberapa hal yang sebaiknya dicerna ulang seperti berikut ini.

Konsep Sejahtera
Hal penting dalam memahami kesejahteraan adalah memutuskan arti kesejahteraan itu sendiri berdasarkan nilai pada diri masing-masing. Bukan karena tetangga kita memiliki rumah mewah atau mobil lebih banyak maka kita anggap tetangga kita lebih sejahtera. Bukan itu maknanya, melainkan model kesejahteraan seperti apa yang kita inginkan. Jadi, tidak perlu melihat orang lain.

Berikutnya, memastikan untuk apa semua uang dan harta yang sudah dan akan dimiliki nantinya. Jadi, ada tujuan dari harta itu. Bukan sekedar dikumpulkan sebanyak-banyaknya. Ini sekaligus menjelaskan bahwa kekayaan dalam makna kesejahteraan adalah ketika kita bisa menikmati dan mensyukuri kekayaan tersebut. Bukan kekayaan yang berlimpah karena utang berlimpah, misalnya. Atau dalam bentuk lain, harta dan kekayaan membuat kita menjadi berperilaku buruk, menjadi serakah atau menjadi kikir.

Jadi, kesimpulannya, definisikan dulu arti kesejahteraan secara seluas-luasnya. Termasuk, hubungan antara jumlah harta dan uang yang dipunyai atau diinginkan dengan kebahagiaan. Baru setelah itu bicara mengenai bagaimana mencapainya.

Mendapatkan Kesejahteraan
Untuk menjadi sejahtera sebagaimana ukuran yang telah diputuskan oleh masing-masing individu, kita terlebih dahulu harus mengetahui seberapa jauh jarak kita saat ini dengan tingkat kesejahteraan yang hendak dicapai. Sebagai contoh, dari sisi aset, saat ini kita menyewa rumah dan kita beranggapan, untuk sejahtera, setidaknya kita mesti mempunyai rumah sendiri. Maka, pertanyaan berikutnya adalah, rumah seperti apa yang mau kita miliki.

Lalu berapa lama dari sekarang rumah tersebut bisa dimiliki. Kemudian dari mana sumber pembiayaannya. Artinya, ada rencana yang jelas, terukur, baik dari sisi waktu maupun sumber dananya. Jadi, boleh-boleh saja kita mendambakan apa saja, tetapi tidak boleh menafikan rasionalitas. Jangan sampai kita terjebak pada kesejahteraan artifisial; mempunyai aset bersumber dari utang dan kemudian aset tersebut hilang kembali karena kita gagal melunasinya.

Kesejahteraan termasuk unsur kebahagiaan bukan sekedar untuk dicapai, sesuai ukuran masing-masing. Ketika kesejahteraan itu sudah tercapai, langkah berikutnya adalah bagaimana mempertahankan kesejahteraan tersebut.

Tetap Sejahtera
Ketika kekayaan meningkat, sebagian kalangan juga mengubah gaya hidup, pola pergaulan dan tingkat konsumsi. Perubahan itu, hakikatnya menjadikan biaya hidup semakin mahal. Oleh sebab itu, salah satu kunci paling mendasar untuk mempertahankan kesejahteraan adalah melalui kontrol terhadap perubahan gaya hidup. Dan itu dapat dijaga dengan kembali mengajukan pertanyaan, “Apa definisi kesejahteraan bagi saya?”

Secara konseptual, menjaga kesejahteraan bisa dilakukan dengan cara melakukan check up secara reguler terhadap kondisi keuangan dan kekayaan kita. Jika delta pengeluaran tiba-tiba menjadi lebih besar daripada delta pemasukan, sebaiknya kita harus waspada. Itu merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang mulai keliru dalam pengelolaan kesejahteraan kita. Dan untuk mencegah permasalahan lebih lanjut, mulailah membelanjakan uang untuk hal-hal yang berkualitas. Bukan membeli barang-barang berharga murah tetapi daya gunanya rendah dan frekuensi pembeliannya bisa tinggi. Lebih jauh lagi, berhentilah melakukan pengeluaran – khususnya terhadap sesuatu yang bersifat keinginan – ketika pemasukan tidak mencukupi. Dengan lain perkataan, ketika kesejahteraan telah bersama kita, jangan menggunakan aset yang telah dipunyai untuk membiayai pengeluaran.

by: adrian

Sumber: Elvyn G Masassya, “Menafsirkan Kesejahteraan” dalam KOMPAS, 8 Juli 2012, hlm 18

Untuk Diketahui : Albigensianisme


Sekilas tentang Albigensianisme


Albigensis adalah suatu sekte Kristen di abad XII-XIII yang menganut ajaran dualisme. Walaupun mereka menamakan dirinya sebagai Kristen, namun sebenarnya ajaran sekte ini sangatlah menyimpang dari ajaran Kristiani. Karena mereka tidak mempercayai adanya satu Tuhan Pencipta dan Pengatur segalanya, tetapi mereka mempercayai adanya dua tuhan, yang satu baik dan yang lain jahat. Maka Tuhan (allah yang baik) dan Iblis (allah yang jahat) sama-sama bertanggung jawab terhadap dunia ini. Dengan prinsip ini, maka mereka percaya bahwa segala yang berupa material di dunia, termasuk yang ada pada manusia (yaitu tubuh manusia) adalah hasil pekerjaan Iblis dan sepenuhnya adalah jahat. Maka manusia yang merupakan separuh ciptaan Tuhan, dan separuh ciptaan Iblis, perlu untuk diselamatkan. Sumber keselamatan ini bukanlah penjelmaan Tuhan Yesus ke dunia dan kurban salib-Nya tetapi pembebasan jiwa dari tubuh. Maka bagi para Albigensian, Kristus bukan Tuhan dan juga bukan manusia, tetapi semacam malaikat yang mengambil tempat sementara dalam tubuh manusia, dan sengsara dan wafat-Nya hanyalah ilusi.

Konsekuensi dari ajaran sesat Albigensian ini adalah sangat merusak, karena:
1. konsep keselamatan bagi mereka adalah ‘pembebasan dari tubuh’, bukannya penghapusan dosa oleh jasa Kristus dan anugerah hidup ilahi di dalam-Nya;
2) mereka membenci perkawinan, karena perkawinan memungkinkan terciptanya ‘tubuh’ yang baru
3) mereka mendukung homoseksualitas/ perkawinan sesama jenis;
4) mereka membenci kehamilan; wanita yang mengandung dianggap sebagai seorang yang dirasuki Iblis
5) mereka mendorong tindakan bunuh diri, karena menyebabkan seseorang terlepas dari ‘tubuh’

Di atas semua itu, dengan konsep merendahkan tubuh, mereka tidak menghargai Inkarnasi (Penjelmaan Allah menjadi manusia dalam diri manusia Yesus). Dan karena Penjelmaan Kristus merupakan salah satu inti Iman Kristiani, maka dapat dimengerti bahwa ajaran Albigensian/Kataris ini sungguh sangat menentang kebenaran iman Kristiani.

Para Albigensian ini beranggapan bahwa selama jiwa masih bersatu dengan tubuh maka masih ada kemungkinan ia jatuh dalam perangkap Iblis. Untuk mengatasi hal ini mereka mengadakan suatu ritus yang dinamakan Consolamentum, dan sesudah itu mereka disebut Perfect, dan terikat kewajiban-kewajiban yang sangat serius, dan tidak boleh diingkari, agar tidak lagi jatuh dalam bahaya perangkap Iblis.  Kewajiban ini misalnya, hidup selibat seumur hidup, puasa yang ketat (tidak boleh makan daging, telur, susu, mentega dan keju), tidak boleh terikat sumpah. Dari ketentuan ini mayoritas orang tidak dapat melaksanakannya. Mereka yang telah menerima Consolamentumini banyak yang memilih untuk bunuh diri daripada menjalankan hidup seperti itu. Lagipula,  menurut mereka bunuh diri adalah tindakan yang sempurna bagi Albigensian yang sejati, yang merasa tidak mampu melaksanakan cara hidup yang disyaratkan.

Para Albigensian ini bertemu dalam ibadah secara teratur. Mereka membaca Alkitab, terutama Perjanjian Baru, yang telah mereka terjemahkan dalam bahasa setempat, dengan tafsiran-tafsirannya yang sangat anti Katolik. Mungkin kita bertanya-tanya mengapa sampai ajaran yang menyimpang ini sampai meluas dan diterima banyak orang? Pertama, karena mereka mempunyai banyak pengkhotbah yang mengkhotbahkan pengajaran ini ke mana-mana, sedangkan pada saat itu para imam Katolik tidak boleh berkhotbah. Kotbah adalah tugas para uskup. Maka mereka yang lahir dan dibesarkan secara Katolik lama-kelamaan berpikir bahwa itu memang ajaran Kristiani. Kedua, para Perfect itu memang hidup dengan sangat miskin, sedangkan pada saat itu para imam memang hidup dalam kelimpahan. Para Perfect banyak berderma, dan menggunakan uang sumbangan untuk mendukung industri bagi lapangan kerja para pemeluk sekte ini. Maka sedikit demi sedikit, sekte ini semakin berakar dalam kehidupan negara dan ekonomi.

Pengaruh yang ditimbulkan oleh sekte Albigenses
Konsili pertama yang membahas masalah heresi ini adalah Konsili Orleans tahun 1022, yang mengadili 13 orang imam. Heresi/bidat ini berkembang luas di Jerman, Italia Utara, Perancis Selatan, lalu juga ke Champagne, Languedoc (salah satu pusat Christendom yang penting) dan Milan, dan menyebar ke Burgundy, Picardy, Fladers, Perancis Tengah, Tuscany, khususnya, Florence, dan juga ke Roma, Italia Selatan, Sicily dan Sardinia.

Maka kemudian Albigenses ini (atau juga sering disebut Catharists) dikecam di banyak Konsili, yaitu di Tolouse (1119), Lateran II (1139), Rheims (1148), Tours (1163), dan Lateran III (1179). St. Bernardus dikirim untuk berkhotbah di daerah-daerah yang terpengaruh oleh heresi ini, namun baik kesucian maupun kefasihannya berkhotbah tidaklah membawa pengaruh yang besar. Di Perancis Selatan, gereja-gereja sudah tidak dikunjungi, sakramen ditinggalkan. Di Toulouse sekte ini malah menjadi agama resmi. Utusan Paus Alexander III diusir dan dihina, kecaman dari Konsili 1179, tidak digubris. Hampir semua provinsi Christendom yang penting telah menjadi anti-Katolik. Beberapa uskup dan imam Katolik juga mulai banyak yang terpengaruh oleh ajaran mereka.

Paus Innocent III dan reaksi dari pihak Gereja Katolik
Setelah Paus Innocentius III dipilih, ia memusatkan perhatian untuk menangani masalah yang terjadi di Languedoc. Dia menunjuk dua pertapa dari ordo pertapa Cistercian sebagai pembawa pesannya. Misi mereka adalah untuk mempengaruhi para pangeran, untuk mengusir para bidat dan menyita harta milik mereka, berdasarkan hukum pada tahun 1184. Keberhasilan usaha mereka terhitung kecil, baik untuk menanggulangi heresi maupun untuk mengusahakan reformasi bagi kehidupan para imam/clergy yang pada waktu itu banyak yang hidupnya tidak sesuai dengan panggilan hidup mereka. Maka pada tahun 1202, kedua pertapa ini digantikan oleh dua pertapa Cistercian lainnya, salah satunya bernama Peter de Castelnau dan Raoul. Castelnau ini seorang yang berani dan penuh semangat. Uskup Agung Languedoc diturunkan, karena menolak untuk bekerja sama, Uskup Toulouse diturunkan, karena kasus simoni, demikian juga dengan Uskup Beziers.

Pada tahun 1205 maka propaganda anti Catharist/Albigensian mencapai puncaknya, melalui pengajaran, khotbah, pamflet, dsb, yang diarahkan oleh disiplin religius yang terbaik. Para utusan Paus juga mengajarkan tentang iman supaya umat Katolik tidak ragu tentang iman mereka dan kesungguhan Bapa Paus untuk mengoreksi kehidupan para imam/clergy. Namun demikian, misi inipun tidak berakibat banyak. Pangeran Touluose tetap menolak bekerja sama.

Kemudian Bapa Paus memperoleh bantuan dari Diego (uskup Osma) dan Dominikus. Mereka membentuk tim tujuhpuluh dua murid, yang seperti dalam Injil. Mereka hidup dalam kemiskinan, dan berkhotbah dan terbagi-bagi dalam kelompok kecil, berdialog dengan para bidat. Pada tahun 1206-1207 mulailah terjadi pertobatan, dan sebagaian dari para heretik itu kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Tahun 1207 seluruh Waldensian kembali, dan Paus Innocentius III mengizinkan mereka hidup sesuai dengan kaul kemiskinan  mereka dalam satu order religius yang bernama Poor Catholics (Kaum Katolik yang miskin).

Setelah 10 tahun misi ini, Castelnau kembali ke Toulouse untuk berdialog dengan Pangeran Raymond VI, agar ia mau bekerja sama. Sudah dua kali Pangeran Raymond berjanji mau bekerja sama, namun kemudian ia berubah pikiran dan menolak secara resmi. Maka Castelnau memberi sangsi ekskomunikasi dan memberi interdict/pemotongan hak dan fungsi pada daerah kekuasaannya. Namun, tiga bulan kemudian, 15 Jan 1208, Peter de Castelnau dibunuh oleh salah seorang sersan kerajaan Toulouse. Pangeran Toulouse secara umum bertanggungjawab atas hal ini. Kematian Castelnau ini mengakhiri misi khotbah dari kaum Cistercian dan digantikan oleh perang. Pembunuh Castelnau diekskomunikasi, dan keputusan atas Pangeran Raymond diperbaharui. Hak-haknya sebagai pemimpin daerah dicabut, sekutu-sekutunya dibebaskan dari perjanjian. Paus Innocentius III menyatakan perang / crusade selama 40 hari untuk mengalahkan para heretik, memberikan indulgensi kepada para prajurit, seperti yang diberikan kepada prajurit di Holy Land. [Walaupun perang selalu pada dasarnya kejam dan tidak kudus, tetapi untuk alasan membela kebenaran iman ini, maka disebut perang kudus/crusade]. Pada tahun 1209, pasukan dari 200,000 siap mengepung Toulouse.

Pangeran Raymond VI, akhirnya menyerah (18 Juni 1209), dan tunduk pada hukuman dera di hadapan publik di St. Gilles, berjanji untuk mengalahkan para heretik. Setelah itu pasukan sampai di Valence dan ia bergabung dengan mereka. Pada bulan Agustus kedua pusat heretik dikalahkan yaitu Beziers dan Carcassone. Sayangnya kemenangan di Beziers ditandai juga dengan pembunuhan massal, yang tidak hanya mencakup pasukan kota, tapi juga beribu penduduk sipil. Di sinilah terdengar seruan yang mengerikan di Beziers: “Bunuh saja semua, Tuhan akan mengetahui siapa milik-Nya.” Salah satu pemimpinnya yaitu Simon de Monfort, yang kemudian menjadi penguasa atas Bezier dan Carcassone. Selama tahun-tahun ke depan dia berjuang melawan Pangeran Raymond, mereka yang tergantung padanya, dan raja Aragon, Peter II yang mempunyai kuasa di atas Pangeran Raymond.

Sejak saat itu perang melawan Albigenses juga tercampur dengan motif-motif lainnya, termasuk persaingan politik. Pangeran Raymond sendiri tidak pernah memberikan sikap yang jelas, karena ia tidak mau menyerahkan para bidat. Maka utusan Paus kembali memberikan sanksi ekskomunikasi kepada Raymond, dan interdict. Pangeran Raymond naik banding kepada Paus Innocentius, yang kemudian mencabut interdict tersebut. Tiga bulan kemudian diadakan Konsili untuk membahas pelanggaran Raymond ini (1210) dan Raymond tidak mengindahkan apapun kewajiban yang sudah dijanjikannya di bawah sumpah. Dia tidak membubarkan pasukannya, dan  terus mendukung para bidat/ heretik. Paus Innocentius kembali memberi peringatan, dan kembali mengingatkannya untuk bekerja sama. Kembali Konsili diadakan untuk membahas apa yang telah dilakukan Pengeran Raymond (Des 1210, Jan 1211, Feb 1211). Beberapa pelanggaran dilakukannya, dan akhirnya, diputuskan oleh Paus bahwa Pangeran Raymond diekskomunikasi, dan dikatakan sebagai musuh Gereja.

Selanjutnya, Simon de Montfort sedikit demi sedikit menaklukkan tempat- tempat heretik tersebut. Lavaur jatuh ke tangan pasukan crusaders, yang menang atas daerah itu dengan membunuh penduduk di sana, setelah mendengar bahwa pasukan merekapun sebanyak 6000 orang telah dibantai pihak heretik. Paus Innocent III berusaha melerai pertengkaran tersebut, namun tak berdaya karena terjepit oleh kesaksian-kesaksian kedua belah pihak yang saling menjatuhkan. Peter II Raja Aragon yang adalah ayah mertua Raymond berusaha memperoleh ampun bagi menantunya, namun tak berhasil. Sementara itu Paus Innocentius akhirnya menjadi yakin atas pelanggaran dan penipuan dari Pangeran Raymond, dan trik-trik dari Peter, Raja Aragon. Terjadilah pertempuran antara Raja Peter II dengan Simon de Montfort, yang berakhir dengan kematian Raja Peter II (1213). Maka, seluruh daerah kekuasaan Raymond jatuh ke tangan Simon de Montfort, kecuali Toulouse. Namun Paus Innocent III mengakui de Monfort hanya sebagai administrator daerah-daerah ini. Pada saat Konsili Montpelier 1215 diadakan, Simon de Montfort diakui sebagai Pangeran Toulouse, dengan catatan pemberian hak-hak yang khusus kepada Raymond dan keturunannya. Setelah diberitahukan kepada Paus Innocentius III bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menumpas heresi, akhirnya menyetujui pilihan itu. Setelah 7 tahun lamanya dari pertempuran, pembantaian yang tidak dapat dikatakan disebabkan karena kesalahan satu pihak saja, hambatan terbesar untuk menumpas heresi Albigensian (Neo- Manicheaeism) akhirnya teratasi, walaupun selanjutnya masih terdapat sisa- sisa pengaruhnya.

Setelah Simon de Montfort wafat, puteranya Amalric naik tahta, mewarisi hak-hak ayahnya. Namun kemudian terjadilah pertempuran-pertempuran di wilayahnya hingga akhirnya ia dan Raymond VII menyerahkan daerah kekuasaan mereka kepada Raja Perancis. Sementara ini Konsili Toulouse (1229) mempercayakan kepada Inkuisisi (Inqusition) ke tangan para biarawan Dominikan, dengan tujuan untuk mengakhiri heresi Albigensianisme. Heresi ini akhirnya berakhir di akhir abad ke- 14.

St. Dominikus dan St. Fransiskus
Mari di sini kita melihat juga peran kedua orang kudus yang hidup pada jaman itu, yaitu St. Dominikus dan St. Fransiskus. Pertempuran itu tidak menghentikan kampanye khotbah dan diskusi. Uskup Diego pensiun, dan kini Dominikus Guzman mengambil peran aktif. Ia beserta timnya mulai diakui sebagai pengkhotbah resmi. Desember 1216, ordo Dominikan diakui oleh Paus Honorius III dengan tugas khusus untuk berkhotbah. Ordo ini bertujuan untuk melatih para penerus rasul untuk memerangi heresi dengan pemikiran/ ajaran dan kehidupan asketik. Kehidupan biara diisi dengan proses mempelajari Kitab Suci dan membahas pertanyaan-pertanyaan Teologis. Dari ordo inilah muncul Peter Lombard dan St. Thomas Aquinas. Di sinilah kita mengetahui bagaimana Tuhan memakai kejadian yang kisruh di abad pertengahan tersebut, untuk kemudian melahirkan pengajaran Gereja Katolik yang lebih sistematis, dan berakar pada Alkitab, sehingga dapat lebih mudah diajarkan kepada umat. Dengan memahami ajaran ini, maka umat Katolik diharapkan untuk lebih memahami imannya tidak mudah terbawa oleh arus pemahaman heretik yang tidak mempunyai dasar yang kuat, sehingga kontradiktif di dalam banyak hal.

Demikian pula, St. Fransiskus adalah seorang kudus yang lahir pada jaman itu (1182) untuk memberi teladan kehidupan membiara yang memegang kaul kemiskinan, berlawanan dengan kehidupan berlebihan para clergy pada saat itu. Dengan demikian teladan hidupnya menjadi contoh hidup para religius, dan dengan caranya sendiri ia berperan untuk memurnikan makna panggilan hidup membiara. St. Fransiskus berasal dari keluarga yang kaya dan ternama, namun ia meninggalkan segalanya demi maksud membangun Gereja. Ia mendirikan ordo para bruder yang hidup dalam kaul kemiskinan dan mengkhotbahkan pertobatan. Ordo ini berkembang pesat, dan membangkitkan kembali Gereja Katolik dari dalam.

Melalui kedua orang kudus ini, St. Dominikus dan dan St. Fransiskus dari Asisi, Tuhan memenuhi janjinya,  “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Rom 5:20) Artinya, biar bagaimanapun kuasa Tuhan lebih besar daripada kuasa Iblis; dan Tuhan dapat memakai kejadian seburuk apapun untuk mendatangkan kebaikan kepada mereka yang mengasihi Dia (lih. Rom 8:28), dan janji ini digenapi-Nya di dalam Gereja-Nya.

Kesimpulan
Sebenarnya Albigensianisme bukanlah heresi Kristiani tetapi sebuah agama yang di luar Kristen. Setelah upaya persuasif gagal, pihak otoritas Gereja menerapkan represi dengan kekerasan, yang seringnya menjurus ke arah berlebihan dan ini sangat disayangkan. Simon de Montfort bermaksud baik pada mulanya, namun akhirnya menggunakan nama agama untuk merebut wilayah kekuasaan Pangeran Toulouse. Memang harus diakui bahwa hukuman mati terlalu banyak diberikan kepada para pengikut sekte Albigensianisme ini, namun harus pula kita pahami bahwa hukuman mati pada jaman itu memang lebih keras diberikan daripada pada jaman sekarang, dan seringkali dipicu oleh suatu pelanggaran yang berlebihan. Pangeran Raymond VI dan VII seringnya menjanjikan akan bekerja sama menumpas heresi, tetapi tidak pernah benar- benar melaksanakannya. Paus Innocent III benar ketika mengatakan bahwa ajaran sesat Albigensianisme merupakan sesuatu heresi yang lebih buruk daripada kaum Saracens. Paus selalu mengusahakan jalan tengah, walau sering tak berhasil, dan iapun sebenarnya tak pernah menyetujui kebijaksanaan yang egois dari Simon de Montfort. Yang diperangi oleh Gereja pada saat itu, bukan saja keruntuhan agama Kristen, tetapi juga kepunahan umat manusia, karena ajaran Albigensianisme yang mendorong ‘culture of death‘/ budaya kematian, dengan membenci tubuh, membenci perkawinan dan mendorong bunuh diri dari para anggotanya.

Bahwa sesudah saat itu diadakan Konsili di Toulouse 1229 yang melarang orang Katolik membaca Alkitab, itu adalah suatu larangan yang bersifat sementara, karena pada saat itu banyak beredar terjemahan Kitab Suci dengan tafsiran- tafsiran yang menyimpang sesuai dengan ajaran Albigensian. Hal ini sudah pernah dibahas di artikel ini, http://katolisitas.org/2009/05/30/konsili-valencia-orang-katolik-dilarang-membaca-alkitab/.

Maka jelaslah sudah duduk masalahnya. Gereja Katolik tidak melarang umatnya membaca Alkitab, hanya memang pada suatu periode tertentu sekitar tahun 1229, memang terjadi kondisi khusus sehubungan dengan adanya penyelewengan teks Kitab Suci yang dilakukan oleh sebuah sekte sesat (Albigensian) pada saat itu. Maka larangan untuk membaca Alkitab pada saat itu merupakan tindakan gembala untuk menyelamatkan kawanan dombanya. Sebab pengalaman telah menunjukkan bahwa tanpa bimbingan Gereja maka penafsiran Alkitab dapat berakhir dengan interpretasi yang malah bertentangan dengan iman Kristen.

Selanjutnya, terutama melalui Konsili Vatikan ke II, Dei Verbum 25,  kita mengetahui bahwa kita sebagai umat beriman dianjurkan untuk membaca Alkitab, terutama para imam dan pengajar iman seperti para katekis. Namun demikian, pembacaannya harus didahului dengan doa sehingga kita dapat mendengar Dia (Tuhan) sendiri lewat ayat-ayat ilahi yang kita baca.

Demikianlah Kusno, yang dapat saya tuliskan tentang pertanyaan anda. Mari kita melihat fakta sejarah dengan sikap obyektif. Bahwa memang terdapat kesalahan- kesalahan dari kedua belah pihak, namun selalu ada alasannya, mengapa sampai demikian. Albigenses atau Catharist adalah ajaran Neo- Manichaeism (versi baru dari Manichaeism yang adalah aliran sesat pada jaman St. Agustinus sekitar abad ke-4) yang sangat tidak Kristiani, maka mereka bukannya menawarkan ‘doktrin reformed’, karena prinsip ajaran mereka malah sungguh menyimpang.  Saya sebagai umat Katolik, sepenuhnya bisa memahami keputusan pihak otoritas Gereja Katolik saat itu, dalam rangka mempertahankan kemurnian pengajaran iman Kristiani yang sesuai dengan pengajaran para rasul, walaupun juga menyesalkan adanya keadaan kekerasan yang melewati batas. Agaknya memang keadaan pada saat itu sangatlah rumit, dan Paus Innocentius III sungguh menghadapi pilihan yang sangat sulit. Tetapi, tanpa kegigihannya mengakhiri heresi Albigensian, mungkin tak banyak bangsa yang bertahan hidup sampai sekarang, bukan karena perang, tetapi karena dengan sendirinya membenci kehidupan dan mengakhiri kehidupan mereka sendiri dengan bunuh diri. Dengan mempelajari sejarah Gereja kita akan semakin disadarkan akan kelemahan kita sebagai manusia, namun juga kita mengagumi akan campur tangan Tuhan yang menjaga keberadaan Gereja-Nya yang diterpa badai tak hanya dari luar tetapi dari dalam tubuhnya sendiri. Namun janji Tuhan YESUS kepada Rasul Petrus selalu digenapinya, dan KRISTUS tak akan membiarkan Gereja-Nya runtuh, sebab Ia berjanji, “alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18)

Sumber: http://forumkristen.com/index.php?topic=44008.0 (dikutip 3 Agustus 2012 jam 22:31)

editor: adrian

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India